Adam mengerjap saat dia pulang dari gym di hari Sabtu dan mendapati seorang pemuda usia tanggung yang belum pernah dia temui sebelumnya duduk di depan tv di ruang keluarga; membuka-buka koleksi komik milik Adam seolah ruangan itu adalah rumah sendiri.
"Ahem," dia berdehem. Kemudian saat si pemuda tidak mendengar dan masih bersiul-siul, Adam mengeraskan suara, "Ahem!"
Pemuda itu tersentak; buru-buru meluruskan duduknya untuk menoleh ke arah Adam, dan—
Dug. Detak jantung Adam melompat sesaat.
Sekarang dengar. Adam kerja di gym, oke? Gym untuk golongan menengah ke atas bahkan. Adam sudah kebal melihat wanita cantik berbodi seksi dengan sport bra dan legging ketat. Adam sudah biasa melihat lelaki tampan dengan six packs sempurna dan wajah bak artis ibu kota. Tapi sosok pemuda yang balik menatapnya dengan mata melebar itu—
"Bang Adam!" suara Fina membuyarkan apapun itu yang sedang terjadi di otak Adam.
"Fina!" balas si pemuda tak dikenal, langsung melompat berdiri dan separo berlari ke arah Fina; membuka tangan lebar-lebar seolah meminta pelukan.
Pelipis Adam berdenyut.
"Bang Adam, Steve. Steve, Bang Adam," Fina melempar senyum, mendorong si pemuda—Steve—menjauh dengan satu tangan saat Steve mencoba melingkarkan lengan di pundak Fina. Steve mengerucutkan bibir seolah terluka, tapi ada binar canda di matanya.
"Hai, Adam," katanya kemudian, memiringkan kepala ke arah Adam dan tersenyum kecil; tangan kanannya terulur. "Steve."
Adam tidak membalas, bergantian menatap mereka berdua dengan alis tertaut. "Kamu... pacaran sama Fina?"
Hening sejenak. Senyum Steve perlahan melebar. Di sebelahnya, Fina tergelak saat menjawab, "Seandainya!" adik perempuannya itu berseru, kemudian menambahi sambil menepuk bahu Steve. "Enggak, Bang. Si Steve ini gay."
***
Lelaki pertama yang terang-terangan mendekatinya adalah keponakan Herr Paul; Lukas namanya. Kulitnya putih khas Eropa, bibirnya sewarna plum, iris matanya biru gelap, dan wajahnya akan merona sangat merah tiap kali Adam tersenyum padanya.
Kelima kalinya Lukas berpapasan dengan Adam di gym, pemuda Jerman itu malu-malu mengajak Adam pergi ke kafe kecil di seberang jalan. Only if you want, of course, tambah Lukas buru-buru. Adam tidak punya jadwal menjemput Fina siang itu, tidak ada jadwal menjaga Nani-Nina juga. Di hadapannya, Lukas masih berdiri kikuk menunggu jawaban.
Adam angkat bahu, Sure, but you pay. Kenapa tidak, eh.
Saat kemudian mereka berjalan bersandingan kembali ke gym dan Lukas tiba-tiba mengecup pipi kanannya, Adam otomatis langsung mengambil langkah mundur.
Oh my god, I'm sorry! Lukas bicara gelagapan, ikut mundur beberapa langkah. I thought you are—I mean—You always smile at—Gosh, I'm so stupid, Adam, I'm really really sorry—
Dan Adam cuma menggeleng; meletakkan tangan di pundak Lukas dan bilang, No, it's—it's okay. I'm not—into another guy, yes. But that's okay. It's fine.
Mereka masih berhubungan via sosmed setelah itu. Masih pergi ke kafe seberang gym tiap Lukas menghabiskan libur musim panasnya di Indonesia. Hanya kali ini, pipi Lukas tidak lagi bersemu saat matanya beradu dengan Adam.
I always forget that homosexuality is still taboo here, kata Lukas pada suatu siang; mengaduk krim di gelas kopinya sambil memandang kosong tetesan air hujan dari balik jendela kafe. Adam tidak berkomentar; duduk diam di depan pemuda asing itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Adam
Teen FictionTuhan menciptakan Adam dan Eve, kata mereka, Bukan Adam dan Steve. Adam mengacungkan jari tengah dari balik pundak Steve: Yeah, just watch us, balasnya. Tags: Original Works, Friends to Lovers, LGBT