iii - iii

42 7 0
                                    

<Kampus lagi ada pameran modern art, mau dateng?>

Pesan singkat dari Steve itu datang saat Adam sedang separo tertidur mendengarkan dosennya menjelaskan tentang mekanika kuantum. Di sebelahnya, Angga bahkan sudah terang-terangan mendengkur.

<Pameran apa? Kok si fina gak bilang apa-apa?>

Di baris depan, dia lihat Lia sedang serius mencatat. Isi binder Lia, kalau sudah dekat dengan ujian semester, menjadi kotak harta karun di tengah tumpukan tengkorak. Adam tidak percaya dengan stereotip gender sebenarnya. Tapi kalau melihat kenyataan bahwa buku catatan perempuan di kelasnya selalu lebih rapi dibanding catatan amburadul laki-laki, mau tidak mau Adam harus mengiyakannya juga.

<Masa sih? Fina lupa kali.>

Adam mendengus. Dia familiar dengan alasan itu. Sejak kecil Fina memang sering lupa dengan satu hal kalau sudah terlalu antusias dengan hal lain. Saat sibuk dengan tugas, misalnya, Adam berani bertaruh kalau adiknya itu bakal lupa makan.

Jari Adam bergerak di keypad ponsel; <Mungkin. Ok. Kapan? Di mana?>

<Jumat besok sampai hari minggu. Di aula kampus. Kamu tau kampus kita kan? Ntar bilang aja kalau udah sampai.>

<Jumat aku ke gym. Sabtu?>

Adam memaksa matanya terbuka untuk memperhatikan dua slide penuh di papan proyeksi di depan kelas sampai handphone di kantong celananya kembali bergetar; <Okey, ditunggu :)>

***

"Adam!"

Steve melambai dari kejauhan; tersenyum lebar. Kemejanya bermotif bunga dengan campuran warna yang mencolok. Jeansnya sobek-sobek di paha kanan dan tempurung lutut kiri—entah karena fashion atau karena memang sudah tersobek sebelumnya. Adam memasukkan tangan ke kantong jaket jeansnya dan berjalan mendekat.

Sepanjang mata memandang, jalan menuju aula dipenuhi dengan poster dan patung-patung kecil dari kawat, kardus, dan sterofoam. Batang-batang pohon dihiasi dengan potongan kertas berwarna-warni, dan ada beberapa tempelan balon kata besar di sana-sini—Modern Art Is The New Art! Welcome To The Annual Art Exhibition!

Adam tidak mengklaim tahu tentang seni; seni yang dia kenal cuma sebatas komik dan kartun, terimakasih. Jadi saat dia dihadapkan dengan pameran yang mengatasnamakan seni modern ini—apa maksudnya itu ada kotak putih besar dengan titik merah yang dipajang di tengah gazebo taman? Dan kenapa orang-orang mengerumuni onggokan hitam yang kelihatannya cuma tumpukan sampah sambil mengambil foto?—Adam cuma bisa mengerutkan kening.

"Fina lagi di dalam tadi," kata Steve di separo perjalanan mereka ke arah gedung utama. "Mau kuajak jalan berputar dulu atau mau langsung ke tempat Fina?"

Adam tidak punya agenda apapun datang ke acara itu, jadi dia cuma angkat bahu dan menjawab, "Aku ikut kamu."

Kemudian tanpa peringatan, tangan Steve melingkar di lengan Adam; menariknya berjalan masuk.

Adam cuma sempat melebarkan mata sesaat sebelum menyadari apa yang terjadi. Bahwa—huh—ini pertama kalinya Adam bergandengan tangan dengan seseorang yang bukan ibu atau adiknya.

***

Fina langsung melompat memeluk dari belakang begitu melihat Adam; buru-buru bilang Maaf ya Bang, Fina beneran lupa mau ngasih tahu kemarin, sebelum Adam sempat buka mulut. Adam cuma tertawa dan mengacak rambut adiknya itu. Ya kan, dia tahu Fina pasti lupa.

Kemudian dengan diapit Fina dan Steve, Adam mendapati dirinya diajak berputar ke seluruh ruangan, mendengar mereka berdua mengomentari tiap lukisan yang terpanjang, dan diperkenalkan ke orang-orang yang kebetulan berpapasan.

Bang Adam nih, kata Fina.

Oh jadi ini Bang Adam yang legendaris itu, kata mereka.

Saat kemudian tidak terasa siang berganti sore dan Steve mengajaknya makan ke kantin, Adam sudah melihat lebih dari lima puluh karya absurd, kenal dengan dua puluhan teman Fina dan Steve—termasuk Kak Rio yang, tanda kutip, gantengnya banget kebangetan; dan sempat berdebat dengan satu gadis berkaos batman-superman tentang: Seriusan? Kamu beneran mikin batman sama superman punya hubungan lebih? Yang dibalas dengan dengusan di gadis, Tentu saja. Apa kita baca komik yang beda?

Fina balik duluan ke aula karena ada kakak senior yang memanggilnya; meninggalkan Adam dan Steve berdua.

"Mau pulang atau masih mau di sini?" tanya Steve; memainkan sedotan di gelas es tehnya. "Agak malam nanti ada pertunjukan anak-anak teater kalau mau lihat."

"Lihat teater juga boleh," kata Adam.

Adam tidak peduli sebenarnya. Kalau mau jujur, dia cuma masih ingin bersama Steve.

***

Steve mengajaknya berkeliling kampus. Menunjukkan di mana ruang kelasnya, di mana lab animasi mereka, di mana tempat anak-anak biasa live drawing.

Jangan bilang Fina tapi aku tahu dia pernah nangis di kamar mandi sini pas tahu Kak Rio punya cewek, kata Steve sambil tertawa saat mereka lewat di kamar mandi di ujung lantai tiga. Dan melempar komentar, Ah perpustakaan, tempat anak-anak pada pacaran dan bukannya belajar, ketika melewati ruangan gelap di lantai dua.

Mereka terus berjalan. Steve terus berbicara. Dan entah dilakukan dengan sadar atau tidak, genggamannya di tangan Adam tidak pernah lepas.

Matahari sudah tenggelam saat mereka sampai di taman belakang kampus; berjalan beriringan di bawah lampu temaram. Suara dari loudspeaker acara pameran cuma terdengar seperti white noise samar.

"Aku belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, kau tahu," Adam angkat bicara setelah beberapa lama mereka hanya berjalan dalam diam.

"Hm? Hal apa? Datang ke pameran?" tanya Steve.

"Berjalan berduaan," kata Adam. "Gandengan tangan," tambahnya.

Steve langsung berhenti tiba-tiba begitu mendengarnya; berdiri kaku. Dia melepas genggamannya di tangan Adam secepat orang melempar benda yang terbakar. Tapi Adam menariknya kembali, dan mata cokelat Steve membulat saat bertemu dengan Adam.

Mereka pernah ada di posisi yang sama; Adam ingat. Tapi kali ini, Adam menolak melepas Steve.

"Ingat waktu aku bilang aku mungkin bi?" tanyanya.

Steve tidak menjawab; masih mematung. Dan Adam... Adam melakukan satu hal yang sudah lama dia inginkan: dia mendekatkan wajah ke Steve dan menciumnya.

Tidak ada yang bergerak selama beberapa saat. Adam menunggu adanya perasaan enggan di perut seperti saat Lukas menciumnya. Atau perasaan hampa di dada seperti saat Laura menciumnya. Tapi Adam tidak menemukannya. Bibir Adam masih menempel di bibir Steve, dan yang dia rasakan adalah ingin, ingin, ingin.

Steve membuka mulut dan Adam tidak berpikir dua kali untuk memperdalam ciumannya. Tangan kanannya merambat naik; memainkan rambut di tenguk Steve, sementara tangan kirinya berhenti di pinggang Steve; menariknya makin mendekat.

Dia tidak tahu berapa lama lidah mereka beradu. Sampai kemudian Steve melepaskan diri dengan sedikit terengah. Iris cokelatnya melebar, wajahnya memerah, dan bibirnya berkilat basah. Dia mengerjap sesaat, sebelum berkata dengan suara serak, "Adam." Yang membuat otak Adam berpikir tentang Steve, dan tempat tidur, dan sesedikit mungkin pakaian dan—

"Yep. Sudah pasti bukan straight," kata Adam.

Steve mengerjap. Kemudian tertawa.

***

Mereka melewatkan pertunjukan anak-anak teater; cuma angkat bahu dan saling tersenyum saat Fina bertemu dengan mereka di depan panggung dan bertanya, Habis kemana aja kalian?

Steve menciumnya saat semua lampu dimatikan dan band dari klub musik tampil.

Steve menciumnya lagi saat mengantarkan Adam ke parkiran motor.

***

Dua hari kemudian, dunia Adam seolah runtuh tiba-tiba.

***

Namanya AdamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang