iii - ii

43 8 0
                                    

Adam tahu ada rumor tentang dirinya di kampus.

Bahwa anak-anak tahun bawah kerap berbisik-bisik, Kak Adam yang ganteng tapi katanya gak pernah punya pacar itu ya, dan kakak-kakak angkatan atas sering menyenggolnya sambil berkata, Tampang kaya lo kok bisa sih ga punya pacar sampai sekarang Dam.

Adam tidak bodoh, tentu saja. Dia tahu apa yang mereka simpulkan dari situ—apa yang mereka pikirkan.

Sekali dua kali, teman-teman sekelasnya melempar candaan dan berseru memanggil, Heh Adam Angga, pasangan homo di sana, berhenti pacaran oi! Ayo futsal! Yang ditanggapi Angga dengan acungan jari tengah dan balasan, Kalau ada yang mau threesome, kita lagi buka lowongan ni! Yang lalu membuat mereka semua tertawa. Adam cuma memutar mata mengabaikan.

Hanya ada dua orang, sepanjang pengetahuan Adam, yang tahu tentang dilema Adam soal masalah normal-tapi-tidak-begitu-normal garis miring tidak-normal-tapi-masih-terasa-normal-nya: Angga, yang langsung menyimpulkan bahwa Adam adalah bi. Dan Steve, yang menawarkan istilah demiseksual.

Kalau kau jatuh cinta pada seseorang bukan karena gender tapi karena ketertarikan personal? kata Steve, saat pada suatu malam, Adam menanyakannya.

Atau mungkin aseksual? lanjut Steve. Kau tahu, aseksual bukan berarti tidak tertarik secara seksual, tapi lebih ke tidak tertarik menjalin hubungan serius dengan seseorang, jelasnya, sebelum menambahkan, Atau mungkin aromantik? Yang kemudian membuat Adam bertanya-tanya dalam hati sebenarnya ada berapa jenis orientasi seksual yang terdefinisi.

Fina, mungkin, mengingat kedekatannya dengan Steve; meski berulang kali Steve meyakinkan Adam bahwa, Enggak, Adam. Aku gak cerita ke siapa-siapa. Enggak ke Fina juga. Dan kadang Adam mendapati Fina memandanginya dengan tatapan aneh, seolah sedang mencari jawaban tentang apapun itu yang dia ingin tahu dari Adam tanpa perlu komunikasi dua pihak. Fina cuma menggeleng sambil berlalu setiap kali Adam menanyakannya.

Lia, teman seangkatannya yang sedang diincar oleh Angga, beberapa kali memberi tanda bahwa dia tidak ada masalah dengan homoseksual. Sekali waktu bahkan, Lia pernah mendatangi Adam dan bercerita dengan mata berkaca-kaca, Dam aku habis dikasih tau film judulnya Brokeback Mountain sama Angga. Sedih banget Dam itu filmnya. Adam, yang bingung harus berkomentar apa, cuma mengangguk sambil menepuk bahu Lia.

Angga angkat tangan saat Adam menuduhnya ikut campur. Dia sendiri kok yang buka-buka Netflix di leptop gue. Tanya film apa yang bagus. Ya udah gue tunjukin Brokeback Mountain dan bilang kalo lo suka sama itu film.

Adam tidak tahu sampai berapa lama rahasianya bisa tersimpan. Tapi untuk saat ini, dia cukup hanya dengan dua orang itu.

***

"Siapa aja yang tahu kalau Steve gay, Fin?"

Mereka sedang duduk di sofa depan tv malam itu. Adam dengan fotokopian catatan Lia, dan Fina dengan sketchbooknya. Ibu ada di dapur. Nani-Nina sudah masuk kamar sejak setengah jam yang lalu; mungkin diam-diam sedang menonton drama korea di laptop. Amanda sudah tidur; bahkan sejak sebelum jarum pendek menunjuk angka delapan.

Fina berhenti menggoreskan pensil birunya, mengerutkan kening ke arah Adam. "Kenapa Bang Adam tiba-tiba tanya begitu?"

Adam angkat bahu. "Penasaran," jawabnya. "Dia bilang semua yang kenal dia tahu. Iya?"

Fina tertawa. "Oh, Bang. Seandainya Abang lihat pas perkenalan mahasiswa baru dulu."

Adiknya itu menutup sketchooknya dan bergeser untuk duduk ke sebelah Adam. "Si Steve," katanya memulai. "Dia baru berdiri maju aja udah disiulin sama cewek-cewek. Ada yang teriak-teriak bilang minta nomer hape lah. Ada yang tanya udah punya pacar apa belum lah. Ada yang nawarin buat dijadiin pacar bahkan. Steve cuma senyum-senyum aja digituin, maju ke depan terus ngenalin diri.

"Pas itu di depan juga lagi ada kakak-kakak senior. Dan di antara mereka, ada satu kakak senior yang gantengnya kelewatan. Kak Rio namanya," Fina berdecak kecil sebelum melanjutkan. "Mukanya mirip Rio Dewanto sama Abimana Arya kalau digabung. Ganteng lah pokoknya, penyegar mata buat cewek-cewek di antara cowok dekil jurusan seni.

"Dan si Steve ini, sebelum balik ke tempat duduknya, pelan-pelan jalan ke arah Kak Rio. Ngeluarin sobekan kertas dari kantong celana. Ngasihin ke Kak Rio. Terus sambil senyum bilang, 'Nomer saya, Kak. Kalau Kakak berkenan sama saya.'

"Bayangin, Bang! Hari pertama kita semua kenal, dan dia udah ngomong begitu di depan!" Fina tergelak lepas, membuat Adam juga ikut menyungging tawa. Dia hampir bisa membayangkan bagaimana ekspresi Fina dan teman-temannya yang dibuat tidak berkutik saat itu. Gay itu satu hal. Tapi untuk bisa terbuka gay di depan umum seperti Steve itu hal lain.

Fina menunggu beberapa waktu sampai tawa mereka reda sebelum menyelesaikan ceritanya. "Jadi. Ya. Semua anak kampus tahu Bang, kalau Steve gay. Kalaupun ada yang belum tahu, pasti nanti ada yang ngasih tahu."

Adam meluruskan kaki ke bawah duduk sila Fina. "Dan gak ada yang komentar miring tentang Steve?" tanyanya.

Bibir Fina melengkung ke atas. "Kita anak seni, Bang. Semua yang gak normal di mata orang normal di mata kita."

***

Namanya AdamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang