i - iii

99 14 0
                                    

"Adam!"

Steve duduk di karpet ruang tengah saat Adam pulang dari kuliah sore itu. Fina tidak ada bersamanya, tapi Nani, Nina, dan Amanda mengerubungi pemuda itu seperti semut dengan gula. Saat dia berjalan mendekat, Adam melihat buku gambar A3 yang terbuka berada di tengah-tengah lingkaran mereka.

"Bang Adam, Bang Adam," Amanda menarik-narik ujung lengan jaket Adam. Rambut ikal panjangnya terkepang melingkari kepala, yang dia tahu tidak mungkin dilakukannya sendiri—atau Nani atau Nina atau Fina; ah, hasil tangan Steve berarti.

"Bang, Kak Steve ngajarin nggambar nih, lihat." Separo memaksa, adik paling kecilnya itu menarik Adam untuk duduk berjongkok di antara Nina dan Steve.

Nina membuka lembar pertama, halaman putih dengan coretan abstrak berwarna merah dan kuning dan sesuatu seperti cokelat kehijauan. "Kebun bunga," kata adiknya dengan semangat.

Adam mengangguk—"Oke?"—meski dia tidak melihat ada kemiripan tumpahan cat itu dengan gambaran kebun bunga.

Nani membuka halaman selanjutnya. Penuh dengan warna hitam dan titik-titik putih dan garis melengkung tidak teratur. Kalau Nani bilang itu langit malam di planet antah berantah, Adam mungkin bisa paham. Tapi,

"Nani coba bikin monster, Bang. Lihat? Monster-monster yang ada di film yang biasa Abang tonton!" kata Nani, diikuti anggukan antusias Nina dan Amanda.

Kali ini Adam mengangkat alis perlahan—"O...ke?"—dan berpikir bagaimana caranya untuk bisa menolak mata polos Amanda saat adik bungsunya itu bilang, "Ikutan nggambar yuk, Bang. Kak Steve punya pensil warna isinya seratus lho."

Dari ujung matanya, Adam melihat Steve menahan tawa.

***

<Mau nonton avengers yang baru barengan?>

Pesan singkat dari Steve itu masuk saat Adam sedang praktikum fisika lanjutan di lab. Adam melirik sekilas ke asisten yang masih sibuk menulis rumus di papan tulis putih di depan kelas sebelum mengetikkan jawaban; <Kita berdua doang?>

Handphonenya bergetar; <Si fina kan gak suka film superhero begituan.>

<Ok. Kamu yang bayar tapi?>

Tidak ada balasan selama beberapa lama. Adam kembali mengantongi ponselnya ke saku belakang celana dan balik berkonsentrasi ke papan sirkuit di mejanya. Baru dia akan memasang resistor ketiga, handphonenya kembali bergetar.

<Kalau aku yang bayar, berarti kencan lho ya :p>

Adam tidak bisa berhenti tersenyum setelah itu; mati-matian mengabaikan tatapan bertanya dan senggolan meggoda cie-cie dari teman satu kelompoknya sepanjang sisa waktu praktikum.

<Kalau bisa dapet nonton gratis, fine :d>

***

Kadang, Adam merasa berbeda dengan teman laki-laki seumurannya.

Saat pembicaraan kantin terarah ke obrolan tentang gadis dan payudara mereka dan innuendo seks, Adam mendapati dirinya membuang muka. Detail vulgar tentang tubuh molek wanita bukannya merangsang otak Adam, tapi malah membuatnya merasa muak. Dia punya empat adik perempuan yang beranjak remaja, demi Tuhan. Dan alam bawah sadarnya tidak bisa memilah antara fantasi dengan kenyataan.

Memikirkan seorang gadis dalam mimpi basahnya selalu membuatnya merasa berdosa; karena dia tidak bisa membayangkan jika ada orang lain yang memikirkan adik-adiknya dalam posisi semacam itu.

***

"Sejak kapan kamu tahu kalau kamu gay?"

Pertanyaannya membuat Steve menolehkan wajah dari layar laptop di depan mereka.

Namanya AdamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang