Orang-orang yang dekat dengan Adam bisa dihitung dengan jari. Keluarganya, nomor satu. Herr Paul dan gymnya, nomor dua. Teman kampusnya, nomor tiga.
Saat SD, yang dia ingat adalah duduk di kursi sebelah tempat tidur ayahnya di rumah sakit. Kemudian bergiliran membantu mengerjakan tugas sekolah Fina dan Nina dan Nani. Dan ketika ibunya kelelahan, Adam ambil alih mengurus Amanda.
Tidak ada waktu yang bisa dia luangkan untuk bermain mobil-mobilan, atau lari-larian, atau sepak bola dengan teman-teman sekelasnya waktu itu. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Adam langsung menjemput adik-adiknya di gedung sekolah seberang dan berjalan kaki menuntun mereka pulang.
Masa-masa SMP dan SMA dia habiskan di gym Herr Paul. Teman sekolahnya hanya sebatas teman sekolah. Adam tidak pernah ikut mereka bermain ke mall, tidak mengiyakan saat diajak menonton konser band, dan memilih untuk berada di rumah dibanding ramai-ramai pergi saat liburan. Adam tidak punya waktu. Dia punya empat adik yang harus diurus saat ibunya bekerja. Dia punya jadwal latihan tinju dan kerja sambilan di gym. Dan dia masih harus belajar dan mengerjakan tugas sekolah di malam harinya. Lagipula, dia tidak bisa dengan mudah menghamburkan uang begitu saja hanya untuk bermain.
Kemudian waktu berjalan cepat dan empat adiknya beranjak dewasa.
Jaga ibu dan adik-adikmu, Adam; Adam sudah melakukannya lebih dari separuh hidup. Adam lupa bagaimana rasanya punya orang lain selain mereka.
***
"Jadi," kata Fina. Adam menoleh dari lembar tugas kalkulus dan mendapati adik sulungnya itu bersandar di kusen pintu kamar. Lengannya terlipat di dada. "Bang Adam dan Steve," lanjutnya.
Adam duduk tegak. "Kenapa dengan Abang dan Steve?"
Fina menaikkan sebelah alis. "Steve," katanya menekankan. "Muka dia udah gak kaya kertas kusut lagi sekarang dan kadang senyum-senyum sendiri pas lagi buka hape. Kalian udah baikan?"
Ah.
Adam angkat bahu. "Semacam itulah."
***
Satu semester, dua semester berlalu; dan tidak terasa, status Adam sudah jadi Kakak Senior di kampusnya.
Steve masih kerap datang ke rumah; entah mengerjakan tugas dengan Fina, atau cuma datang untuk bermain. Mereka punya jadwal tetap tidak tertulis untuk mulai menonton serial Doctor Who dari season awal tiap Sabtu malam—dan berakhir dengan Steve menggelar kasur lipat di lantai kamar Adam, mengobrol tanpa arah sampai satu di antara mereka tidak lagi menjawab.
Steve tidak pernah mengungkit soal pembicaraan terakhir mereka di telepon setelah perbincangan di kafe Wiwin dan Adam tidak pernah bertanya. Tapi Steve berhenti menghindar darinya; dan buat Adam, itu cukup.
Sekali waktu, Steve dan Adam pernah kelepasan tertidur di satu kasur dan bangun dengan tangan Steve melingkar di punggung Adam; celananya menenda.
Ibunya yang saat itu sedang membuat sarapan pagi cuma menaikkan alis tidak berkomentar saat melihat Steve turun dari kamar Adam dan buru-buru pamit pulang. Adam angkat bahu; menolak memberi jawaban.
Fina menatapnya lama, sebelum kemudian berdecak kecil dan tersenyum penuh arti seolah tahu apa yang Adam tidak tahu. Sementara Amanda merengut kecewa seharian karena, dan Adam kutip, Kak Steve udah janji mau ngajarin Amanda pakai cat minyak hari ini.
Lukas sempat ke gym akhir bulan Juni kemarin, saat anak gadis pertama Herr Lukas menikah. Dia datang dengan lelaki tegap berkulit hitam yang otot bisepnya mungkin dua kali lengan Adam.
My boyfriend Fritz, kata Lukas saat memperkenalkannya pada Adam. And this is Adam, lanjutnya, the ex-crush of mine from a long time ago.
Adam cuma tertawa mendengarnya; membalas jabat tangan Fritz dan berkata menimpali, Yep that's me. Nice to meet you.
Mereka pergi ke kafe Wiwin kemudian, hanya untuk bertukar kabar tentang kehidupan masing-masing selama mereka tidak bertemu. Adam bercerita tentang adik-adiknya, tentang teman kampusnya, tentang Herr Paul dan gymnya. Lukas bercerita tentang bagaimana dia sempat pacaran dengan empat orang sebelum akhirnya bertemu dengan Fritz di pantai kecil di Florida pada musim semi dua tahun lalu, dan bagaimana mereka sudah tinggal bersama sejak itu.
I think about marrying him one day you know, kata Lukas; tersenyum lebar sambil menggenggam erat tangan Fritz. I just want to spend the rest of my life with him.
Adam balas tersenyum; mengamati bagaimana Fritz tidak bisa lepas memandang Lukas dengan tatapan penuh binar. Bagaimana Lukas terlihat sangat bahagia dengan Fritz di sampingnya. Bagaimana lebih dari sekali, mereka tidak mengindahkan Adam dan seolah berada di dunia mereka sendiri.
That's good to know, katanya pada akhirnya. You two deserve to be happy.
Adam sama sekali tidak menyinggung nama Steve.
***
"Lo gak mau ngenalin gue ke Steve, Dam?" tanya Angga saat sore itu, mereka berdua sedang ada jadwal menjadi asisten lab.
Adam melirik ke ruang praktikum, mengecek praktikan anak-anak tahun pertamanya masih sibuk berkutat degan kabel dan papan sirkuit di meja masing-masing, sebelum balik menoleh ke Angga.
"Ngapain tiba-tiba lo minta dikenalin ke Steve?" dia balas bertanya.
Angga angkat bahu. "Karena gue temen lo dan Steve pacar lo?"
Adam memutar mata. "Berapa kali harus gue bilang, Ngga. Steve sama gue cuma temen."
Angga menatapnya skeptis, tapi kemudian berdecak mengalah. "Oke, fine. Karena gue temen lo dan Steve temen lo, dan menurut logika itu gue sama dia seharunya ada di diagram venn yang sama?"
Adam cuma tertawa; pura-pura sibuk dengan tumpukan tugas yang harus dinilainya sebelum praktikum berakhir dan menolak untuk terbujuk oleh umpan Angga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Adam
Teen FictionTuhan menciptakan Adam dan Eve, kata mereka, Bukan Adam dan Steve. Adam mengacungkan jari tengah dari balik pundak Steve: Yeah, just watch us, balasnya. Tags: Original Works, Friends to Lovers, LGBT