ii - iv

81 10 0
                                    


Adam pulang dengan perasaan campur aduk.

Ini bukan salahmu, kata Steve sesaat sebelum mereka berpisah jalan. Aku punya track record buruk untuk jatuh ke orang yang salah, lanjutnya.

Steve mengatakannya dengan tertawa, tapi Adam tidak. Steve tidak mungkin akan jatuh kalau Adam tidak mendorongnya—kalau Adam memperlakukannya seperti teman biasa.

Teman biasa tidak berkirim pesan tiap hari; tidak mengerutkan kening saat membuka handphone dan mendapati temannya belum menjawab, dan tidak merasa berdebar saat melihat temannya membalas dengan menggunakan emoji hati.

Teman biasa tidak menelepon tengah malam cuma untuk memastikan temannya baik-baik saja, tidak dengan leluasa main ke kamarnya, tidak datang setiap malam Minggu untuk menonton film sci-fi tahun 80-an.

Dan teman biasa tidak memimpikan temannya yang lain, Adam, tambah batin kecilnya.

Adam berputar; berbaring terlentang di tempat tidurnya. Kalau ini bukan Steve, Adam tidak akan repot untuk peduli. Seseorang bilang suka padanya kemudian memutus hubungan dengannya? Oke. Bukan masalah. Dan Adam tidak bodoh; sudah berapa banyak yang bilang cinta padanya dan tidak sekalipun Adam ambil pusing. Dia tidak pernah peduli. Tapi Steve—

Adam menutup wajah dengan lengan. Perasaannya ke Steve berbeda; dia tahu itu.

Dia cuma tidak tahu dengan apa harus melabelinya.

***

Mungkin lo bi kali, Dam, kata Angga saat Adam bercerita soal masalahnya keesokan harinya—dan mengaku bahwa dirinya mungkin tidak seratus persen straight seperti yang dia kira sepanjang dua puluh tahun lebih hidupnya. Kalau lo masih suka cewek tapi gak nolak sama cowok?

Bi. Tentu saja. Dia punya opsi itu.

***

"Aku bi."

Selama beberapa saat, tidak terdengar suara apapun dari seberang. Kemudian, "Adam? Halo?"

Adam melepas napas yang tidak sadar dia tahan. "Yang kamu bilang kemarin. Kamu gak mau lagi jatuh cinta pada cowok straight. Well. Aku bukan straight, Steve. Bukan gay juga. Aku bi. Mungkin. Entahlah. Aku belum pernah cukup tertarik dengan seseorang untuk memikirkannya."

Genggaman ponsel di tangannya makin erat. Dia harus menahan diri untuk tidak menutup sambungan dan menjejalkannya ke bawah bantal. Tidak peduli seberapa kencang jantungnya berdegup saat memutuskan untuk menelepon Steve malam itu.

Samar-samar, dia bisa dengar naik-turunnya napas Steve dari seberang.

"Kau teman baikku. Dan aku tidak mau kita menjauh. Jadi kalau kamu ambil jarak denganku hanya karena kau takut bakal jatuh cinta, jangan." Dia berhenti; menelan ludah.

Steve masih tidak bersuara dan Adam melanjutkan, "Aku janji untuk menangkapmu kalau itu terjadi."

***

( chapter ii )

Namanya AdamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang