Saat Adam menginjak remaja, dia tidak tahu harus bertanya pada siapa tentang perubahan tubuhnya. Jakunnya mulai tampak, suaranya berubah lebih berat, dan dia mendapati ada rambut tumbuh di bagian-bagian yang tidak wajar. Di usia itu pula, Adam mimpi basah untuk pertama kalinya.
Adam ingat pergi ke kamar mandi tengah malam untuk mencuci sprei tempat tidurnya; merasa sangat malu karena kelepasan mengompol meski sudah masuk SMP.
Saat kemudian dia pergi ke gym sore itu untuk bekerja seperti biasa dan Herr Paul bilang kalau dia bertingkah aneh, Adam tidak bisa lagi menyimpannya—semua pertanyaan yang mengganjal, semua desahan-desahan samar di mimpinya, semua apa, kenapa, dan bagaimana di otaknya.
Herr Paul lah yang kemudian duduk dan memberinya birds-and-bees-talk; tentang organ intim pria dan wanita, tentang bagaimana bayi bisa terbentuk, tentang hubungan seks antara dua orang dewasa yang saling cinta.
Adam ingat pertanyaan polosnya waktu itu: Tapi bagaimana dengan cowok dan cowok atau cewek dan cewek, Herr? Mereka juga bisa saling jatuh cinta kan?
Adam juga ingat, Herr Paul tidak memberikan jawaban.
***
<Black widow. Mau nonton?>
<Oh, ayolah steve. Aku tahu kau suka black widow.>
***
"Bang Adam!"
Amanda berlari menubruknya begitu Adam membuka pintu. Adam balas tertawa dan mengacak rambut adik bungsunya itu. Kepangannya berantakan, tidak seperti kalau—ah—Steve yang menatanya. "Ini siapa yang ngepang, Manda? Kak Fina?"
Amanda mengagguk; manyun. "Jelek nih kalau Kak Fina yang ngepang. Lebih rapian Kak Steve," katanya. Kemudian sambil menarik-narik tali jaket Adam melanjutkan, "Kak Steve kenapa lama gak kesini, Bang?"
Dan dari seribu satu alasan yang bisa dia tawarkan, Adam memilih, "Steve sibuk, Amanda. Gak ada waktu buat main sama bocah macam kamu." Kemudian memberinya jitakan main-main di kening dan tertawa saat adiknya itu balik mencoba menonjok bahu Adam.
Ibunya melempar pertanyaan yang sama saat Adam mengambil makan malam di dapur. Adam tidak menjawab—dia tidak bisa berbohong pada ibunya.
Fina, yang sedang duduk di meja makan, mengerling sekilas ke arahnya. Dan begitu sadar kalau Adam cuma bakal bergeming diam sepanjang malam, adik sulungnya itu melengos dan menawarkan cerita versinya.
"Si Steve punya pacar baru soalnya, Bu. Gak bisa lagi malam mingguan di sini."
Adam mengabaikan bagaimana jantungnya tiba-tiba menghentak sesaat.
***
<Steve, kamu gak ganti nomer kan?>
***
Ada satu gadis di gym yang sejak pertama kali gadis itu datang, mata tajamnya langsung terarah ke Adam. Gadis berwajah oriental dengan ukuran dada kelewat besar.
Laura, katanya saat memperkenalkan diri. Kemudian sambil mengedipkan sebelah mata, melanjutkan dengan nada menggoda, Salam kenal, Adam.
Laura datang ke kelas yoga tiap hari Selasa dan Kamis. Jam dua siang di hari Selasa dan jam empat sore di hari Kamis. Pakaiannya selalu ketat dan Adam tidak bisa menyalahkan kalau hampir semua pria yang ada di gym menoleh ke arahnya tiap Laura lewat. Kecuali satu dua yang, Adam mengerutkan kening, tidak tertarik dengan lawan jenis.
Gadis mantan model sampul majalah remaja itu kuliah di tempat yang sama dengan Adam. Tahun terakhir jurusan Sastra Inggris. Sekali waktu, saat Adam mengantarkannya balik ke kampus karena ban depan mobilnya bocor, Laura memberinya kecupan di bibir sebagai ucapan terimakasih. Adam berdiri mematung beberapa detik setelahnya.
Pertanyaan yang ditunggu-tunggu datang di akhir bulan; saat Adam sedang duduk di meja resepsionis depan dan sambil malas-malasan membuka halaman majalah sport-golf-entahlah terbaru.
Lagi punya pacar gak, Dam, tanya Laura. Sori, jawab Adam.
***
"Tapi itu Laura FIB, bro!" Angga, teman kampusnya berkomentar saat Adam bilang kalau ya, dia kenal Laura Sastra Inggris. Pernah dicium. Pernah digoda. Pernah ditawari jadi pacar bahkan. "Laura FIB yang—" tangan Angga bergerak-gerak melengkung di depan dada, seolah menekankan poin pembicaraan. "—nya gede itu?"
Adam tertawa, menggelengkan kepala. "Gak tertarik. Gue cari yang sedang-sedang aja lah, Ngga."
***
<Jangan-jangan kamu lupa. Ini adam.>
***
"Steve apa kabar, Fin?"
Fina bahkan tidak ambil repot menoleh dari kanvasnya saat menjawab, "Baik."
***
Malam itu, Adam memimpikan Steve.
Mereka duduk di depan sofa seperti biasa. Menonton sebuah film yang hanya samar-samar bisa diingat Adam. Steve tertawa. Poni rambut menutupi sebagian matanya. Adam tidak tahu apa yang terjadi kemudian, tapi dia mendapati tangannya meraih wajah Steve; menyapukan helai rambut gelap itu kembali ke belakang telinga. Kemudian waktu seolah terhenti sesaat. Steve menatapnya tanpa berkedip, membuka mulut dengan suara oh pelan. Tangan Adam merambat turun, menyentuh pipinya, berhenti di lekukan bibir bawahnya. Steve bergeser mendekat. Adam bisa melihat semburat keemasan di iris cokelat Steve. Bisa menghitung bulu mata lentiknya. Bisa merasakan hangat nafas pemuda itu di wajahnya.
Dan kemudian Steve menciumnya.
Suara-suara di belakang kepala Adam berteriak untuk menyuruhnya berhenti; bahwa mencium sesama pria adalah salah, bahwa Steve adalah teman adiknya—sahabatnya; bahwa—OH—oh, tangan Steve merayap ke selangkangannya. Memberi tekanan pelan dan bergerak memutari zakar. Sejak kapan celana jeansnya terlepas, Adam tidak tahu. Tapi saat Steve memperdalam ciumannya dan lidah mereka saling beradu, jemari Steve menemukan jalannya menyusup ke balik celana dalam Adam.
Fuck.
Adam terbangun dengan cairan mani merembes dari bokser hitam.
***
"Steve apa kabar, Fin?"
Fina angkat bahu. "Masih kayak orang habis putus cinta," katanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Adam
Teen FictionTuhan menciptakan Adam dan Eve, kata mereka, Bukan Adam dan Steve. Adam mengacungkan jari tengah dari balik pundak Steve: Yeah, just watch us, balasnya. Tags: Original Works, Friends to Lovers, LGBT