ii - iii

72 9 0
                                    


Pesan singkat dari Steve datang tiga hari setelahnya, saat Adam sudah menyerah dan memutuskan untuk melepas Steve; membiarkannya melakukan apapun yang dia inginkan.

<Adam kita butuh bicara.> tulisnya.

<Oke.> jawab Adam.

***

Mereka janjian bertemu hari Rabu siang, di kafe di seberang gym Adam—karena cuma itu satu-satunya kafe yang Adam tahu dan kebetulan dia kenal dengan anak-anak barista yang kerja di sana.

Wiwin Wiwina, gadis berjilbab yang sedang kebagian jadwal shift siang itu mengedik ke arah Steve saat melihat Adam masuk.

"Cowok ganteng disana lagi nungguin lo katanya. Temen, Dam? Kenalin ke gue dong."

Steve duduk sendiri di meja sudut ruangan; dengan kemeja merah kotak-kotak yang dibiarkan tidak terkancing, dan celana jeans pensil. Jemarinya mengetuk-ketuk cangkir kopi dalam suatu irama.

Adam tidak sadar dirinya hanya diam dan memandang Steve dari kejauhan; sampai kemudian Wiwin berdehem dari belakang dan Adam menggeleng sambil tertawa, ingat untuk menimpali ucapan Wiwin sebelumnya. "Kalau lo cowok mungkin dia baru tertarik, Win."

Wiwin menaikkan alis sebentar; tapi kemudian ber-tsk keras dan meletakkan tangan di dagu, memasang wajah kecewa. "Ah parah ni. Semua yang ganteng pada jeruk makan jeruk sekarang."

Adam tertawa mendengarnya. "Lo udah punya cowok lagian. Masih juga cari-cari yang lain."

Yang diajak bicara cuma menjulurkan lidah sebagai jawaban.

***

Adam mengambil napas dalam sebelum berjalan ke meja Steve.

"Hai," sapanya; menarik kursi di depan Steve dan duduk berhadapan dengannya.

Steve mengangkat kepala, melebarkan mata sesaat begitu bertemu pandang dengan Adam. "Hai... Adam."

Steve potong rambut, adalah yang pertama ada di pikiran Adam. Kemudian Oh, sejak kapan ada bekas tindikan di telinganya, adalah yang kedua. Dan Ah, dia pakai kaos batman, adalah yang ketiga; yang kemudian membuatnya tersenyum dan berkata, "Bilang gak suka tapi ternyata punya kaos batman juga, eh?"

Steve menunduk untuk melihat kaos hitam dengan logo kuning kelelawar itu, kemudian balik menatap Adam dan balas tersenyum kecil. "Kalau aku bilang ini sebenarnya mau aku kasih ke kamu tapi sayangnya keburu kepakai duluan, kamu percaya?"

Adam melepas tawa. "Kalau kamu mau barter, aku punya kaos avengers lawas," katanya.

Wiwin datang di saat itu untuk mengantarkan minuman cokelat pesanan Adam, dan melirik sekilas ke arah Steve; kemudian dengan gaya yang kelewat dibuat-buat, mengedipkan sebelah mata sambil melempar kiss-bye sebelum kembali ke belakang meja konternya.

Steve cuma mengerjap. Satu alisnya terangkat, seolah sedang menimbang apa dia perlu untuk meluruskan kesalahpahaman barusan atau membiarkannya berlalu.

Adam berdehem. "Cewek yang barusan itu namanya Wiwin. Dia cuma bercanda. Wiwin tahu kamu gay, aku bilang padanya tadi di depan," katanya, kemudian melebarkan mata begitu sadar dengan apa yang barusan diucapkannya. "Oh, sori. Apa itu hal yang dirahasiakan? Apa aku seharusnya gak perlu bilang ke Wiwin?"

Steve menatap Adam dan Wiwin bergantian, sebelum kemudian menggeleng. "No. It's okay," katanya. "Semua yang mengenalku tahu. Aku tidak pernah sembunyi."

Kalau giliran Wiwin yang jaga, playlist kafe adalah lagu-lagu akustik; semua dari full albumnya Boyce Avenue, sampai coveran artis-artis indie. Thinking Out Loud milik Ed Sheeran sedang terputar saat itu; suara bening mendayu dan petikan gitar mengisi kekosongan suasana kafe di siang hari.

Adam diam, menunggu Steve untuk lebih dulu membuka percakapan. Tapi Steve juga diam, memainkan sendok kecil di cangkir kopinya dan menolak mengangkat wajah untuk bertemu pandang dengan Adam.

Saat lagu kafe berganti dengan lirik familiar dari Taylor Swift—yang Adam tidak tahu lagunya, tapi Fina sering memutarnya, Adam mengalah dan berdehem.

"Jadi," katanya memulai. "Kamu bilang kita butuh bicara."

Hening sejenak. Steve menghela napas; masih sambil pura-pura sibuk mencampur krim vanila di kopinya. "Soal kemarin dulu," katanya akhirnya. "Fina bilang dia nunjukin pesanku ke kamu?" Adam mengangguk. Steve melanjutkan, "Dan kamu tahu kan berarti? Kalau aku—that I have this—crush—on you?" Ragu-ragu, Adam kembali mengangguk. Steve tersenyum tipis. "Well. Ya. Itu garis besar yang terjadi," katanya. "Kita—aku—butuh jarak, Dam. Jarak aman."

Saat Adam cuma mengernyit tidak paham, Steve melepas napas panjang. "I—I was this close... to fall in love with you, okay? Sesedikit ini." Dia mendekatkan ujung ibu jari dan telunjukknya, membuatnya hanya berjarak beberapa mili. "Sekarang, aku tahu kamu cuma anggap aku sebagai teman. And it's fine. Aku senang dengan apa yang kita punya," lanjutnya.

Adam merasa ada kata tapi disana; dia tidak menyela.

Steve menghela napas lagi. Kali ini menunduk dan menopang kepalanya dengan tangan kanan. "But the heart wants what it wants, right?" katanya getir. "Kalau pas itu kamu tetap kasih perhatian ke aku, aku gak jamin bisa nahan perasaanku ke kamu, Dam. Dan aku gak mau lagi jatuh cinta sama cowok straight. Been there, done that. Sakit rasanya."

Adam buka mulut untuk menganggapi, tapi menutupnya kembali karena tidak tahu harus berkata apa.

Steve tersenyum samar. "Jadi." Dia mengangkat wajah; matanya tampak berair hingga tanpa sadar tangan Adam terulur untuk meraihnya. Steve menggeleng, dan Adam spontan berhenti di tengah jalan; menarik kembali tangannya dan mengepalkannya di bawah meja.

"Jadi itu kenapa aku bilang aku butuh waktu, Dam. Butuh jarak. Karena meski di otak ini aku tahu kita gak mungkin jadi lebih, yang namanya hati kadang gak bisa diajak kompromi."

***

Namanya AdamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang