BAB 20 (Kesandiwaraan?)

70 14 41
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak dan vote, jangan jadi pembaca Goib!

Sebelum membaca kita bershalawat dahulu, "Allahuma sholi ala Muhammad, Wa ala ali Muhammad"

Terimakasih sudah mampir!

"Hati perempuan itu sangatlah sensitif. Hal kecil saja bisa membuatnya bahagia, dan hal kecil juga bisa menyakiti perasaannya "

HAPPY READING!!

*******

Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam, sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang. Khatar, dengan Umma Atika tengah berada di ruang rawat yang tengah ditempati oleh Hanna. Kedua orang tua Hanna sedari tadi siang belum sama sekali datang untuk menjenguk putrinya Hanna. Padahal perempuan muda itu tengah menunggu kedatangan kedua orang tuanya.

"Shalihah, Mas izin mau salat Magrib ke masjid bersama Umma, Kamu tidak apa-apa ditinggal sendiri?" tanya Khatar pada sang istri.

Hanna mengangguk kecil, lalu tersenyum hangat. perempuan itu baru saja sadar dari tidurnya setelah melakukan operasi kecil pada kakinya, perempuan itu tampak lebih diam dari biasanya.
Khatar sempat merasa ada yang berbeda dari istrinya, tapi pria itu menepis semua pikiran buruk yang mencoba menghasut pikirannya.

"Umma dan Khatar tinggal dulu, ya, sayang? Umma akan berdo'a semoga menantu Umma yang cantik ini, cepat sembuh dan ceria lagi." sahut Umma Atika menghampiri Hanna dengan jemari yang mengelus pucuk kepala Hanna yang tertutup jilbab.

"Iya, Umma. Terima kasih, maaf Hanna selalu merepotkan Umma," jawab Hanna pelan dengan bibir pucatnya.

Umma Atika menggeleng, "Kamu tidak merepotkan sayang. Stop, bilang seperti itu, oke?"

'Allahu Akbar, Allahu Akbar ...'

Terdengar suara adzan berkumandang, membuat Khatar langsung menoleh pada sang Umma.

"Mari Umma, adzan Maghrib sudah berkumandang kita harus salat Magrib lebih dulu," ajak Khatar lalu di angguki oleh Umma Atika.

"Umma tinggal sebentar, ya, sayang. Assalamualaikum ...,"

"Waalaikumsalam," Hanna menjawab salam dengan pelan. Sepeninggalnya kedua orang itu, Hanna meluruskan pandangannya ke arah kaca.

Hati perempuan itu kembali berdenyut nyeri, ketika mengingat kejadian siang tadi. Apalagi perempuan itu kembali mengingat laki-laki yang pernah menjadi salah satu sosok yang berharga dalam hidupnya.

Kembali lagi, Hanna teringat dengan kejadian di mana dirinya tersesat di hutan selama satu Minggu. Kejadian itu cukup membuat dirinya trauma dengan orang-orang terdekatnya. Dia harus waspada.

Hanna masih tidak menyangka sahabatnya Viona ternyata, bisa menyembunyikan hal itu darinya? Dan bertindak di luar batas. Dengan menyakiti dirinya, ia bisa membalas dendamnya? Wanita itu salah, Viona memang salah. Jika ingin membalas dendam, kenapa tidak langsung dengan orangnya? Kenapa seorang anak juga harus merasakan imbas dari kebejatan orang tua.

"A-ayah, aku masih tidak menyangka akan hal itu. kenapa harus aku, yah? Kenapa harus aku yang merasakan ini. Bagaimana dengan perasaan bunda jika ia tahu? Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran ayah," lirih Hanna dengan mata yang berembun.

Aura tegas dan positif yang selalu di pancarkan oleh perempuan itu. Kini seolah tergantikan dengan rasa kesedihan yang teramat sangat menyakitkan untuknya. Setegas apapun perempuan, jika hatinya sudah tersakiti sangat susah untuk kembali untuk menyakinkan dirinya sendiri.

Pria Laut Sang Nahkoda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang