23

26 3 0
                                        

Justin seketika melamun sembari memandang ke arah bik Tinah yang terlihat mempersiapkan makanan untuk dirinya. Sebab, Tania bersama Alex sudah pergi ke kantor ketika hari masih petang sedangkan Jordan berada di sekolah begitu juga dengan Stella. Justin segera beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil sesuatu.

"Den Justin, mau kemana? Kalau perlu apa-apa biar bibi ambilkan. Mending kamu duduk di sana jangan banyak gerak. Karna bibi takut kena marah nyonya besar!"

"Mau keluar. Justin bosen di rumah." Justin segera berjalan ke arah pintu lantaran untuk mencari udara segar sekaligus hangout di cafe favoritnya. "Den Justin, tolong jangan pergi. Apalagi itu pesan nyonya?"

Justin tentu menghentikan langkahnya dan memutuskan masuk ke kamar lantaran merasa sangat kesal. Padahal ia udah baik-baik saja tapi Tania selalu memperlakukan dirinya seperti berada di penjara. Sebab, Justin nggak boleh berada di luar dengan alasan banyak kuman tak baik untuk kesehatannya.

Namun secara tiba-tiba pak Harto memasuki ruangan sembari memandang ke arah Justin. "Bik, itu den Justin kenapa? Dia kelihatan marah banget. Padahal, harusnya enak berada di rumah seharian penuh?"

"Den Justin mau keluar. Bibi udah pasti larang. Apalagi dia baru sembuh dari sakit." Bik Tinah menjelaskan panjang lebar kepada pria paruh baya yang kira-kira berusia empat tahun lebih tua dari usianya.

"Udah bener itu, bibi tolong buatkan saya kopi. Mumpung, nyonya lagi pergi kita bisa berduaan. Apalagi den Justin,'kan lagi ngambek, jadi nggak mungkin kesini?"

"Memangnya kamu nggak lihat saya lagi masak. Mending buruan pergi sana. Kagak usah kembali lagi. Apalagi saya juga masih banyak pekerjaan?"

Bik Tinah tentu saja mengusir pria paruh baya itu lantaran ia harus mengantarkan makanan ke kamar Justin. Dia membuka gagang pintu sembari memandang ke arah sosok tubuh yang berbaring di tempat tidur. Bik Tinah meletakkan makanan itu di meja sembari membangunkan Justin.

"Den Justin, ayo makan dulu trus minum obatnya?" Bik Tinah segera mendudukkan anak majikan itu sembari memberikan makanan berupa sup ayam kepada remaja yang terlihat enggan menoleh ke arahnya.

"Bibi, mending pergi saja? Lagian Justin belum lapar."

Namun, bukanya pergi bik Tinah tetap berada di samping remaja yang terlihat mengamuk dengan membuang makanan tersebut. Wanita paruh baya itu memutuskan menghubungi Tania untuk segera kembali. Sebab, ia udah kewalahan menghadapi tuan muda yang sedari  tadi melampiaskan semua kemarahannya.

"Bik Tinah, apa yang terjadi? Tumben nelpon apa karena Justin? Oke, saya akan pulang. Bik Justin nggak papa,'kan?"

"Iya, nyonya? Den Justin nggak mau makan? Sampai bibi bingung cara nenanginnya."

Tania segera menutup panggilan sembari memanggil sekretarisnya untuk menyelesaikan pekerjaan lantaran ia mau pergi. Perempuan berambut pendek itu hanya menggangukkan kepalanya karna udah paham. Sebab, semua orang di sini telah mengetahui keberadaan putra bungsu Tania.

Sesampainya Tania segera berlari ke kamar Justin tapi tidak menemukan keberadaan remaja berambut hitam itu. Tania segera mencari Justin hingga di halaman belakang tapi tetap saja sia-sia.  Namun, secara tiba-tiba bik Tinah yang barusan dari supermarket, Tania segera mengajukan pertanyaan kepada dirinya.

"Bibi, Justin kemana? Katanya nggak mau makan? Sekarang orangnya malah hilang? Bukanya kemarin habis belanja?"

"Nyonya, den Justin tadi minta bibi buat beliin sesuatu? udah pasti bibi langsung ke supermarket. Jangan-jangan itu trik den Justin buat kabur dari rumah?"

"Harusnya bibi lain kali curiga. Kira-kira kemana dia pergi. Apalagi saya khawatir banget sama kesehatannya?"

Tania memutuskan menghubungi Emily berharap ia memberikan sebuah petunjuk di mana keberadaan Justin.  Namun, sayangnya Emily tidak tau lantaran Justin juga tidak kerumahnya dan Tania segera mematikan panggilan tersebut. Tania segera mendudukkan dirinya di kursi sembari memegang kepalanya.

Eternally yours (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang