"Oke, gue tunggu di depan Ttalgi, ya?" Helga menyudahi panggilan suaranya. Matanya mencuri pandang suasana di dalam sebuah cafe, tempat yang sudah disepakati oleh temannya yang lain untuk bertemu. Jadwal kelas yang ia miliki masih akan dimulai sekitar satu jam lagi. Membuatnya memilih untuk mengisi tenaganya hari itu.
Tangannya memilih untuk mendorong pintu kaca di hadapannya setelah netranya mendapati sosok yang ia cari pun berada di salah satu kursi yang tersedia di dalam.
Ia menempati sebuah kursi yang tidak jauh dari lokasi sosok yang menarik perhatiannya sejak tadi. Jaket berbahan jeans itu nampak sangat cocok dengannya, pikir gadis itu.
Jazlan. Sosok yang sudah mencuri perhatiannya sejak kemunculan lelaki itu tahun lalu. Memori di otaknya itu masih mengingat bagaimana senyum manis yang lelaki itu tebarkan ke seluruh penghuni di kelasnya. Sebuah sapaan yang hingga kini masih membuat jantungnya berdegup dengan cepat.
"Terus, terus? Lo gak minta penjelasan atau apa gitu?" Rungu Helga menangkap sebuah pertanyaan dari salah satu teman Jazlan. Tidak, ia tidak bermaksud untuk menguping, namun rungunya terlalu peka untuk menangkap setiap perbincangan tiga orang yang hanya berjarak beberapa senti dari mejanya.
"Ya, nggak. Gue mikirnya ya dia emang gak suka sama gue. Udah, gitu doang." Helga menghela napasnya mendengar jawaban dari Jazlan. Nampaknya ia tahu apa yang menjadi topik pembicaraan ketiga orang itu.
"Sorry, sorry. Tadi rame banget di perpus pada balikin buku. Lo udah pesen?" Sebuah suara membuyarkan fokusnya pada pembicaraan tiga lelaki tadi.
Helga tersenyum menyambut kedatangan Yara, temannya. Ia lalu menggelengkan kepala, menjawab pertanyaan gadis berambut pendek yang kini sudah duduk dan tengah membolak-balikkan laman menu.
"Kayak biasa?" tanya Yara menengadahkan kepalanya.
"Iya deh, gue bingung juga makan apa." Yara lalu beranjak menuju kasir, membuat Helga kembali menajamkan indera pendengarnya.
"Eh, gue cabut dulu." Terdengar suara dari salah satu teman Jazlan. Memang gadis itu duduk membelakangi mereka. Namun, ia tahu suara yang baru saja pamit itu bukanlah suara milik pujaan hatinya. Suara yang baru saja pamit seperti lebih tinggi dari suara berat Jazlan, pikirnya.
Gadis itu memiringkan kepalanya. Suara yang baru saja pergi itu terdengar familiar di telinganya. Ia mencoba mengingat di mana ia pernah mendengar suara itu.
"Tapi kenapa, sih? Kok lo tuh kepo banget kayaknya masalah cinta monyet gue?" tanya Jazlan yang cukup heran dengan pertanyaan temannya. "Lo udah berapa kali nanya tentang dia mulu. Padahal bahasnya udah dari kapan." lanjut lelaki itu menggerutu.
"Eh, lo ada fotonya?"
***
Deru napasnya terdengar cepat, seolah tengah berlomba dengan langkah kaki yang dipaksa untuk terus berlari. Setelah selesai mengemasi kembali barang-barang pada lokernya, ia lalu berlari ke arah apotek. Aruni yang sakit membuatnya tidak dapat fokus dengan pekerjaannya hari ini. Pantas saja pintu kamar gadis itu terus tertutup sejak kemarin.
Tangannya mengetuk pintu di depannya. Napasnya masih memburu, seolah takut oksigen yang ada di sekitarnya akan menghilang.
"Kak!" serunya, berharap si pemilik kamar itu cepat membukakan pintunya.
Dikeluarkannya ponsel dari dalam tas ranselnya, mencoba menghubungi gadis yang ia anggap sebagai satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Kak, ini obat sama makan siangnya aku taro di depan pintu ya."
Ia kembali mengunci layar ponselnya setelah mengirimkan pesan pada Aruni. Beruntung ia sempat membungkus makanan dari tempat kerjanya tadi. Kakinya lalu kembali berlari menuju kampus mengingat ia akan semakin terlambat jika tidak berlomba dengan waktu.
"Pelan-pelan, sis!" Lagi, suara yang tidak ingin ia dengar justru kembali menyapa rungunya. "Pak dosennya gak dateng 'kok hari ini."
Lyra mengabaikan Haidar yang kini ikut berlari di sebelahnya. Gadis itu tidak menyadari seringai menyebalkan yang terukir jelas di wajah tampan lelaki itu.
Suasana kosong kelas menyapanya. Sama sekali tidak ada dosen yang ia pikir sudah berdiri di depan kelas. Netranya melirik ke arah jam dinding, sudah pukul 15.16, Pak Yuda tidak biasanya terlambat.
"Gue bilang juga apa. Pak dosennya gak masuk hari ini."
Lyra masih menolak percaya pada lelaki yang kini masih menatap dengan tatapan meledeknya. Ia lalu mengambil ponselnya. Terdapat pesan masuk di salah satu group chat kelasnya. Informasi bahwa Pak Yuda tidak dapat masuk ke dalam kelasnya ternyata belum sempat ia baca.
Gadis itu menghela napasnya. Sesalnya pada diri sendiri karena tidak membuka pesan itu lebih cepat. Namun, sedikit lega pun turut ia rasakan karena setidaknya ia memiliki waktu lebih banyak untuk menyelesaikan tugasnya yang lain.
"Ayo makan siang bareng!" Kepalanya menggeleng.
"Tugasku masih banyak." ujarnya menolak tawaran lelaki yang masih terfokus padanya.
Haidar mengabaikan jawaban Lyra. Tangannya justru menarik sosok itu untuk mengikuti langkahnya. Tidak hanya protes yang dilayangkan oleh gadis itu yang ia abaikan, sorot mata penuh rasa ingin tahu sepanjang koridor pun turut ia abaikan.
"Apa kamu nggak takut?" Lelah dengan penolakan yang diabaikan, Lyra akhirnya melayangkan pertanyaan itu dengan suara lirih.
Haidar menghentikan langkahnya. Netranya memandang gadis itu dengan penuh rasa penasaran. "Takut apa?"
Tidak ada jawaban. Haidar memutar bola matanya. "Ayo pacaran!"
Kini sorot mata penuh pertanyaan pun dilayangkan oleh Lyra. "Kamu pasti lagi taruhan kan?" Ia menghela napasnya sebelum melanjutkan, "Berenti. Beneran deh, taruhan gitu tuh gak ada lucunya. Kamu gak tau kan gimana perasaan orang yang kalian jadiin bahan taruhan gimana?"
Haidar mengedipkan matanya beberapa kali. Bibirnya lalu tersenyum. Rasanya baru ini ia melihat gadis di hadapannya ini bicara panjang-lebar dengannya.
"Lo tau gak kalo suara lo pas ngomel tuh lucu?"
"Gila." Lyra mendengus lalu melangkah mendahului Haidar. Tidak menuju perpustakaan. Tidak pula menuju kantin. Ia memilih untuk pergi ke bawah pohon besar yang tidak jauh dari tempatnya berada.
"Eh, iya di sini! Gue sering banget liat lo di sini!"
Lyra sedikit terlonjak kaget mendapati suara itu. Ia pikir, sosok yang tadi menarik tangannya telah pergi.
"Kenapa lo milih di sini?"
Enggan menjawab. Lyra hanya mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.
"Aku cuma ada satu, kamu-"
"Makasih!" Haidar mengambil bungkusan itu tanpa mempersilahkan gadis yang duduk di sebelahnya menyelesaikan kalimatnya.
"Ini punyaku!"
"Loh, bukan buat gue?"
"Ya kamu beli aja sana di kantin."
===
Illusive will come again next week ^^
Kindly leave ur trace if you like this story! see you!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusive [ON GOING]
RomanceLyra pikir, bertemu dengan Haidar merupakan sebuah karunia. Bahagia yang ia pikir akan diraih, seolah semakin menjauh kala palsu itu mulai dirasa nyata. Semua berawal dari palsu. Namun palsu seolah mendorong dan berakhir dengan jatuh. Mungkinkah pal...