ㅡ07ㅡ

8 5 1
                                    

Matanya tidak berhenti melirik ke arah pintu masuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matanya tidak berhenti melirik ke arah pintu masuk. Seolah berusaha mengabaikan sosok yang kini tengah memusatkan fokus padanya. Tangannya terus bergerak mengaduk minumannya. Kerjapan dari mata yang menandakan ketidaknyamanannya itu gagal ditangkap oleh lawan bicaranya.

"Haidar... kapan datengnya?" lirihnya. Lyra kini sudah menundukkan kepalanya. Mengalihkan netranya untuk menatap sepasang sepatu yang ia kenakan. Masih enggan beradu tatap dengan sosok yang lama tidak ia jumpai.

"Hmm... mungkin bentar lagi," ujar Jazlan setelah melirik ke arah jam tangannya. "Lo nggak aus? Minum dulu, Ra."

Jazlan sedikit tersenyum kala sang gadis akhirnya menengadahkan kepalanya. Untuk pertama kali sejak keduanya duduk di kursi itu, netra keduanya beradu.

"Kamu bohong, ya?" Dahi yang mengernyit itu tertangkap oleh netra Jazlan.

Anggukan kepala dari Jazlan menjadi tanda bahwa lelaki itu memang tengah berbohong. Ia menyerah, lelaki itu sudah tertangkap basah.

"Nggak, kok. Kita emang ada rencana mau ke sini, cuma Haidar sekarang lagi ada kelas." Sebuah penjelasan dari Jazlan yang semakin menambah rasa kesal Lyra. Pasalnya lelaki itu mengucapkan diiringi dengan seringainya. "Gue juga di kelas yang sama, tapi tadi telat."

"Pasti keasikan main game." Lirih dari suara Lyra mampu tertangkap oleh Jazlan. Entah mengapa, rasanya begitu senang mengetahui gadis di hadapannya masih mengingat kebiasaan yang dimilikinya.

"Ra, lo tadi kenapa nangis di bawah pohon?"

Lyra memilih diam. Memanfaatkan ramai dari pengunjung lain sebagai alasan tidak mendengar tanya dari lawan bicaranya.

Beruntung, diamnya gadis itu dapat dipahami oleh Jazlan. Otaknya nampak bekerja untuk mengalihkan gadis itu dari topik yang dibawanya. "Eh, lo masih suka mie ayam, nggak? Gue kemaren kan ke tempat Pak Yayan, katanya udah nggak jualan lagi."

"Oh, iya? Udah lama nggak ke sana, sih."

"Lo... apa kabar?"

Lyra sedikit tersenyum. Sebuah tanya yang seharusnya menjadi pembuka saat mereka baru bertemu. Gadis itu bahkan tidak berpikir akan mendapat tanya itu, terlebih setelah obrolan singkat yang dibawa oleh Jazlan.

"Lo... kenapa nggak kasih kabar pas pindah?"

Lyra kembali menundukkan kepalanya. Sedikit rasa bersalah karena keputusannya kala itu.

"Lan, sorry kalo waktu itu ada kata-kata yang nyakitin kamu pas kita putus."

"Nope. Gue lebih pengen minta maaf ke lo. Gue ngerasa waktu itu, gue masih kekanakan, mungkin salah satu tingkah gue ada yang bikin lo nggak nyaman." Jazlan merasa bersyukur telah diberi kesempatan untuk mengutarakan maafnya. Walaupun memang ia tidak tahu alasan apa yang mendasari kandasnya cerita mereka.

Pertanyaan demi pertanyaan akhirnya berani dikeluarkan oleh Jazlan. Walaupun hanya topik seputar keseharian sang gadis yang menjadi topik. Namun sedikit lega dirasanya karena gadis di hadapnya tampak menceritakannya dengan senyum. Ah, mungkin Jazlan terlalu merindu senyum itu hingga sekali lagi tidak menyadari apa yang tersembunyi di baliknya.

Illusive [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang