ㅡ01ㅡ

48 33 0
                                    

Buku yang ia taruh di hadapannya digunakan sebagai pelindung oleh gadis bersurai panjang itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Buku yang ia taruh di hadapannya digunakan sebagai pelindung oleh gadis bersurai panjang itu. Perisai dari tatapan yang sejak tadi terasa menikamnya. Terduduk di dalam kelas menanti sang dosen untuk datang merupakan hal yang cukup menyiksanya.

Semua berawal saat sang ayah tertangkap karena dugaan penggelapan dana perusahaan tempatnya bekerja. Selama lima tahun tinggal berdua dengan sang ayah, ia masih tidak dapat mempercayai berita yang selama hampir satu bulan ia tonton. Ia merasa tidak dapat melakukan apapun terlebih saat palu hakim memutuskan bahwa sang ayah memang bersalah.

Ia kehilangan sang ayah, kehilangan rumahnya, kehilangan dirinya.

Beruntung namanya lolos sebagai penerima beasiswa saat ia diterima di kampus yang cukup ternama ini. Setidaknya beban yang harus dipikulnya sedikit teringankan.

Suara bising yang sedari tadi menyelimuti ruangan itu mendadak pergi. Memberikan sinyal pada gadis itu bahwa Pak Yuan-sang dosen-sudah memasuki ruangan.

Seperti sebelumnya, beliau selalu mengajak berdoa bersama sebelum memulai kelasnya. Sosok itu lalu mengenakan kacamata yang sejak tadi menggantung pada saku kemejanya.

Selama pemberian materi, Pak Yuan selalu menanyakan pendapat dari para mahasiswanya. Membuat semua yang kini tengah duduk di dalam ruangan benar-benar menaruh fokusnya pada lelaki yang dengan asyik berjalan mengitari kelas.

"Hey!" Lyra mengerutkan keningnya mendapati suara yang sempat ia dengar tempo hari.

"Nama lo siapa?" sosok itu bertanya lagi. Lyra berusaha mengabaikannya, kembali memfokuskan pikirannya pada sosok tampan Pak Yuda yang kini sudah kembali ke depan kelas.

"Gue Haidar." Sebuah tangan terulur di hadapannya. "Tapi kalau lo mau panggil sayang juga boleh." lanjutnya lagi. Tangan yang tadi ada di hadapannya masih setia berada di sana, menunggu Lyra untuk menjabatnya.

"Ayo pacaran!" Tangan Lyra yang tadi menulis kata-kata penting dari dosennya langsung berhenti. Tangan itu menggenggam erat penanya, menahan untuk tidak melemparkan benda itu pada sosok menyebalkan di sebelahnya. "Kalau lo diem berarti oke."

"Gak." Jawaban yang singkat.

"Kamu, yang pakai kemeja biru!" Suara Pak Yuan yang tadi menjelaskan materi mendadak diam sejenak. Sosok berkacamata itu kini menunjuk ke arah Haidar, diikuti oleh sorot mata mahasiswa yang lain.

"Menurut mu, siapa yang berperan penting dalam penyebaran ilmu akuntansi di Indonesia?"

"Maaf, Pak. Tapi, saya bukan mahasiswa bapak." Lyra dengan susah payah menutupi senyumnya. Sebuah kebodohan telah dilakukan oleh lelaki yang sejak tadi mengganggunya. Tentu saja setelah lelaki itu mengeluarkan dialognya, Pak Yuan langsung mengusirnya dari kelas. Beruntung sang dosen tidak menanyakan perihal alasan yang membawa lelaki itu mengunjungi kelasnya.

Lyra takut jika lelaki itu akan menyebutkan namanya kalau-kalau sang dosen bertanya.

***

Jam tangannya masih menunjukkan pukul 2.30 siang, masih menyisakannya waktu sekitar tiga puluh menit untuk makan siang dan merampungkan tugasnya sebelum jam kerjanya dimulai.

Beruntung tugas yang diberikan Pak Yuan hari itu adalah tugas individu. Ia tidak perlu repot-repot untuk mencari teman yang kiranya mengizinkan namanya tertulis dalam daftar anggotanya. Pun apa yang telah diusahakannya akan menjadi nilainya seorang. Memang terdengar apatis, namun Lyra terlalu lelah dengan tugas kelompok yang berujung dengan dirinya saja yang mendayung perahu itu sementara yang lain justru sibuk dengan hal lainnya.

Lyra mengganti bajunya dan menyimpan barang-barangnya dalam loker saat jam kerjanya hampir dimulai. Ia bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi bernama "Sunset Cafe", sebuah kedai yang lokasinya tidak begitu jauh dari tempat ia menimba ilmu, pun dengan tempat ia tinggal sementara waktu.

"Selamat sore, mau pesan apa?" sapanya dengan ramah pada pengunjung yang mendekati kasir, tempat ia berdiri.

"Hmm... Ice Americano dua, sama Ice Choco satu." Suara pelanggan di hadapannya seolah membunyikan bel pada rungunya. Terdengar cukup familiar.

Setelah menerima uang sebagai pembayaran, Lyra dengan segera menyiapkan pesanan.

"Lan, kita langsung ke rumah lo aja kan abis ini?"

"Hah? Kenapa gak di sini?"

"Biar sekalian tidur."

Tidak berniat untuk mencuri dengar, hanya saja percakapan para pelanggan itu cukup keras untuk sampai pada rungunya. Terlebih dengan tersebutnya nama yang cukup ia kenal membuatnya sedikit menajamkan rungunya.

Tidak, tidak. Lan bukan hanya Jazlan, pikirnya.

"Silahkan." ujar Lyra seraya menyerahkan semua pesanan dua lelaki yang mengenakan masker. Netranya membuntuti dua sosok itu hingga keduanya menghilang. Masih mencoba mengusir pikirannya sendiri.

***

Setelah membereskan juga membersihkan peralatan, Lyra menyudahi pekerjaannya. Ia mengganti baju lalu mengambil kembali barang-barang yang tadi ditaruhnya dari dalam loker.

Dinyalakan ponselnya, menghubungkan pada headphone yang sudah terpasang. Jarinya mengusap layar gawainya, mencari lagu apa yang kiranya mampu mengusir takutnya selama perjalanan pulang.

Jalanan gelap di hadapannya membentang. Rasanya ia belum terbiasa walau sudah menjalani rutinitas itu berbulan-bulan. Terlebih setelah ia menonton film horror beberapa hari silam. Ia berdoa agar tidak ada lentera atau pintu berwarna merah yang muncul menghadangnya.

Lagu yang tadi ia putar berhenti, berganti dengan dering sebagai tanda adanya panggilan masuk. Lyra mengerutkan keningnya setelah melihat nomor yang ia tidak kenal muncul pada layar gawainya.

"Maaf. Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi." Ujarnya mencoba menirukan suara operator. Lyra pikir nomor itu adalah nomor penipu yang sedang marak terjadi.

"Perasaan ini bener nomornya Lyra deh." Gadis itu tertegun setelah mendengar jawaban dari ujung panggilan itu. Sebuah kekehan terdengar. Jarinya dengan cepat mengakhiri panggilan itu.

Semu merah tampak di pipinya. Ia tidak berpikir bahwa ada yang akan menghubunginya, mengingat bagaimana perlakuan teman-temannya saat di kampus.

Malu. Kakinya dengan cepat menyusuri jalan menuju tempat ia tinggal. Otaknya memikirkan bagaimana caranya ia untuk pindah kampus namun tetap mendapatkan beasiswa. Rasanya cukup banyak skenario yang terlintas selama perjalanan yang hanya sepuluh menit itu.

===

Illusive will come again^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Illusive will come again^^

Illusive [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang