Lyra melirik ke arah jam tangannya. Gadis itu menghela napasnya kala mendapati ia harus menghabiskan waktu sepuluh menit lagi di dalam perpustakaan sebelum melangkah masuk ke kelasnya.
Lyra memilih masuk hingga mendekati jam dosen masuk dari pada kembali menghadapi umpatan dari mahasiswa lain di kelasnya.
"Lyra? Belum ke kelas? Bentar lagi mulai, kan?" tanya Aruni yang duduk di hadapannya. Beberapa buku tebal menjadi teman mereka di sana.
Lyra harus kembali bersyukur atas hadirnya sosok dihadapannya. Pasalnya, jika saja Aruni tidak mengajaknya ke perpustakaan, mungkin ia hanya akan duduk di bawah pohon besar itu. Tempat yang biasa ia kunjungi.
Tempat dimana ia dipertemukan dengan sosok Haidar.
"Haidar kayaknya udah nggak ke kosan lagi, ya?"
Lyra pikir, dengan datangnya ia ke perpustakaan, ia akan terhindar dari hal-hal yang mengingatkannya akan lelaki itu.
Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya. Enggan memberikan alasan atas absennya sosok yang ditanya.
"Haidar itu baik, kok." Pernyataan dari Aruni membuat Lyra mengerutkan keningnya. "Haidar baik, dia juga care sama sekitar. Rumah ortu kita tetanggaan. Jangan cemburu."
"Nggak cemburu."
"Cuma, dari kapan ya, kayaknya dia udah nggak di rumah situ lagi. Pas pulang gue jarang liat, sih."
"Kak, kenapa jadi ghibahin orang, deh?" tanya Lyra.
Gadis itu memilih pamit dari hadapan Aruni. Mungkin, jika ia berjalan dengan amat sangat pelan, ia akan mengulur waktu hingga sang dosen tiba.
Namun sayang, salah satu dari yang ia hindari justru tampak tengah meminum minumannya di ujung lorong. Sosok yang kini tampak tengah tertawa bersama dua temannya.
"Syukur deh kalo dia sehat," gumamnya. Lyra lalu menghentikan langkahnya. "Ya kan emang dia nggak sakit, Ra."
***
Berdiri di atas gedung dengan hanya berteman bising perkotaan tetap terasa sepi oleh Haidar.
Tanpa hadir sosok Lyra yang biasa menjadi temannya, nyatanya gedung yang beratas namakan sang ayah tidak begitu menghiburnya, terasa cukup asing.
Entah sejak kapan hadir gadis itu cukup penting untuk harinya.
Berulang kali ia meneguk minuman kalengnya, namun dahaganya seakan terasa semakin menjadi.
Otaknya kian malam kian berisik. Memorinya terus mengulang wajah kecewa sang gadis beberapa hari lalu.
"Na, maafin gue," lirihnya. Netranya menatap lurus ke arah satu bintang yang tengah bersinar. "Dulu juga lo suka ngajakin gue liat bintang itu, kenapa jadi gue doang yang harus liat sendirian sekarang?"
Sebuah kekehan lolos dari Haidar. Sedikit menertawakan diri sendiri atas sesuatu yang selalu dianggapnya sebagai kegagalan, sebagai kesalahan, sebagai penyesalan terbesarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusive [ON GOING]
RomanceLyra pikir, bertemu dengan Haidar merupakan sebuah karunia. Bahagia yang ia pikir akan diraih, seolah semakin menjauh kala palsu itu mulai dirasa nyata. Semua berawal dari palsu. Namun palsu seolah mendorong dan berakhir dengan jatuh. Mungkinkah pal...