part 9

85 13 4
                                    

"Sudah dibaca sejak sejam yang lalu, tapi tak kunjung dibalas juga. Memang sesibuk apa, sih ... dia?" JJ menghembuskan napas. Layar berukuran enam koma tujuh inch itu tak lepas dari pandangan.

Hanya karena Us mengabaikan pesannya, JJ jadi kelimpungan sendiri. Resah, gelisah, untung saja tidak seperti semut merah.

"Aku salah apa sampai diabaikan begini? Padahal jelas-jelas dia sudah baca."

Bagaikan remaja yang didiamkan oleh gebetannya. JJ menghempas kasar tubuh hingga terjatuh di atas ranjang.

Coba kirim pesan lagi, siapa tahu kali ini dibalas. Tapi, sayangnya lagi-lagi hanya dibaca saja.

"Dasar ponsel tidak berguna." JJ  meletakkan begitu saja karena frustasi.

Yang ada di Thailand frustasi karena merasa diteror terus, sementara si pria yang kini masih di Belanda juga sama frustasi akibat tidak dibalas pesannya. Sama-sama kesal, hanya saja dalam konteks berbeda.

"Atau mungkin pesanku tidak menarik? Jadi, Us malas menjawab?" Masih saja JJ memikirkan itu. Dia galau, kacau, rasanya ingin diajak ketemu langsung saja supaya beres dan tahu apa penyebab diabaikan begini.

Biasanya JJ selalu bisa tidur walau sedang bertengkar dengan kekasihnya. Tapi, kali ini lain. Bahkan ngantuk pun tidak. Mau memejamkan mata juga enggan.

"Oh Us... kau benar-benar sudah membuatku gila." Telapaknya mengusap wajah secara kasar.

Sedangkan lelaki yang membuat JJ kelimpungan, ternyata sedang terlelap di dalam kamar. Us membuat ponsel dalam mode silent, jadi tidak mungkin  mendengar jika ada notifikasi masuk. Dia merasa hidup sangat damai kalau tak ada yang mengganggu. Begitulah yang ia mau.

Sudah cukup dipusingkan dan rumit oleh urusan pekerjaan ditambah bosnya yang gila tidak mau tinggal di kota. Jangan diimbuhi urusan pribadi yang sebenarnya dia sendiri tidak mempermasalahkan.

Seharusnya pagi hari adalah waktunya orang terlihat segar dan bugar karena sudah istirahat saat malam. Namun, hal itu tidak berlaku untuk JJ. Dia justru memiliki kantung mata karena semalaman kurang tidur. Pikirannya kacau, dipenuhi oleh Us yang tak kunjung balas juga sampai sekarang.

Sekretarisnya sudah mengingatkan kalau hari ini jadwal pulang ke Thailand. Jadi, JJ sangat semangat untuk bersiap. Dia mandi, menggunakan pakaian rapi. Tidak lupa menyemprotkan parfum yang katanya Us sukai.Ada suara ketukan pintu lagi, JJ segera membawa ransel ke punggung. Sudah pasti sekretarisnya untuk mengingatkan yang kedua kali.

"Iya, aku sudah siap. Kita berangkat ke bandara sekarang," ucap JJ saat keluar dari pintu.

"Perlu ku bawakan barangnya?" tawar Boy.

"Tidak." JJ berjalan di depan.

Keduanya pun menuju taksi untuk ke bandara.

"Waktu penerbangan jam berapa?" tanya JJ seketika ia menginginkan sesuatu.

"Sepuluh."

"Berarti masih ada waktu kalau aku mau belanja sebentar?"

“Ada, memangnya mau membeli apa?"

JJ  tidak menjawab. Tapi meminta taksi untuk menepi sejenak. "Berhenti di depan store Louis Vuitton."

Kendaraan sungguh berhenti sesuai permintaan. JJ lekas turun dan meminta sekretarisnya tetap di dalam saja. Cukup menunggu sebentar. Dia hanya ingin membeli sesuatu untuk Us. Akhirnya membeli tas keluaran terbaru karena hanya itu yang terlintas didalam kepala.

JJ  kembali masuk ke taksi dan perjalanan menuju bandara pun dilanjutkan lagi.

"Bingkisan untuk kekasihmu, Bos?" tanya Boy.

JJ  melirik ke arah papperbag besar di sampingnya. "Bukan."

"Tumben, biasanya untuk kekasihmu."

"Kalau ini untuk calon istriku dan ibu dari anak-anakku." Percaya diri sekali dia.  Padahal belum tentu Us mau juga.

"Oh, kau sudah mau menikahikekasihmu?"

"Menikah, sih ...mau. Tapi, bukan dengan

Laura."

"Lalu?"

JJ  berdecak dan menendang jok

depan yang diduduki oleh sekretarisnya. "Banyak tanya sekali. Nanti juga tahu sendiri orangnya."

   Perjalanan udara yang biasanya tak pernah JJ nanti supaya cepat sampai pun kini membuatnya tidak sabar ingin segera mendarat di Thailand. Rasanya lama sekali, padahal biasanya juga ia tak peduli.

Sepertinya efek pesannya diabaikan terus oleh Us, membuat JJ mau lekas menghampiri sekretaris kembarannya. Atau setidaknya melihat secara langsung kalau lelaki itu baik-baik saja.

Akhirnya, yang ditunggu mendarat juga. JJ melepaskan seatbelt, padahal pesawat belum berhenti total, masih bergerak mengikuti arahan pemandu parkir.

Saat pramugari telah membuka pintu, JJ yang duduk paling depan pun langsung berdiri nomor satu. Ia tidak peduli kalau sekretaris ada di kelas ekonomi. Main tinggal saja.

JJ  tak perlu mengambil bagasi karena barang bawaannya semua ada di kabin. Jadi, ia mengurus kedatangan ke imigrasi. Setelah itu menuju tempat parkir di mana mobil berada.

Baru juga masuk kendaraan, sudah ditelepon saja. Pasti dari sekretarisnya.

JJ  masih sedikit punya hati untuk tidak membuat Boy kebingungan karena ia tidak ada di first class. Mengangkat panggilan tersebut dan langsung memberi tahu.

"Aku sudah di parkiran, pulang duluan. Kau pergilah ke kantor," ucap JJ seraya menekan tombol untuk menghidupkan mesin.

"Nanti sore ada agenda lagi, jangan sampai lupa, Bos."

"Iya, kau tenang saja."

Kendaraan pun segera JJ lajukan. Dia merasa tak sabar ingin bertemu Us.  Padahal tidak tahu lelaki itu ada di kantor atau tidak.

   Sampai di depan perusahaan yang dituju, JJ mengantongi ponsel dan membawa papperbag berisi tas Louis Vuitton. Dia tak bertanya pada resepsionis, tapi langsung naik ke lift dan menuju lantai di mana ruangan kembarannya berada.

Kalau meja kerja US , JJ tahu. Tentu saja karena sering melewati jika sedang ke ruangan Vegas.

"Dia pasti senang mendapatkan bingkisan ini. Siapa juga lelaki yang menolak kalau dibelikan barang mahal." JJ menengok lagi papperbag di tangan, sebelum akhirnya melangkah keluar dari lift.

Tidak biasanya merasa senang hanya mau bertemu seorang lelaki. Bahkan bersama kekasihnya pun tak semendebarkan ini. Kini dadanya bergemuruh.

Betapa senangnya saat melihat wajah US  yang serius sedang menatap layar komputer. Dua sudut bibir sampai tertarik

sempurna. "Cantiknya, kenapa aku baru sadar sekarang, ya? Kemarin ke mana saja?" gumamnya memuji.

Langkah kaki JJ  nyaris tidak terdengar. Bahkan saat ia telah berdiri di dekat meja US  pun lelaki itu tak sadar karena terlalu fokus dan sibuk oleh pekerjaan.

Ingin memastikan, sebenarnya kenapa Us tidak membalas pesannya sejak semalam. JJ pun mengeluarkan ponsel, lalu mengetik sesuatu, dan layar kecil milik lelaki itu menyala.

Us  hanya melirik ke kanan, lalu berdecak malas. "Dia lagi...," gerutunya.

"Tidak dibalas pesannya? Memangnya ada apa denganku sampai kau sepertinya malas begitu?" tanya JJ .

Mendengar suara yang begitu familiar, Us menelan ludah. Dia menengok ke kiri di mana seorang pria berpakaian rapi tengah berdiri.
Matilah ... orangnya ada di depan mata. Mau memberi alasan apa sekarang?

"Kau membenci aku?" Tidak mendapatkan jawaban, JJ mengajukan pertanyaan lagi.

Tidak, aku hanya malas berurusan dengan keluarga tanjibul Sudah cukup banyak dipusingkan oleh salah satunya saja. Rasanya ingin menjawab begitu, tapi tidak mungkin juga. Bisa-bisa justru dihadapkan oleh seluruh keluarga besar.

"Oh, halo, Tuan." Us mengangguk canggung.

"Jawab pertanyaanku, Us. Kenapa kau tidak membalas pesanku? Atau mengangkat teleponku? Sedangkan ku lihat jika kau selalu ada di dekat ponselmu." JJ  terus mencecar.




      Us kamu kenapa nak

One Night Tragedy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang