"Apa kau masih lama di sini?" tanya Us. JJ tak segera menyingkir juga dari hadapannya. Membuat ia kurang nyaman saja.
"Apa kau mengusirku?" Ada sedikit rasa tidak terima. Jauh-jauh dari Belanda, sengaja saat sampai Helsinki langsung menemui lelaki yang sudah memenuhi seluruh pikiran, eh... sekarang justru tidak diterima dengan baik.
Us lekas menggerakkan tangan sebagai tanda. "Tidak, bukan begitu. Tapi, aku belum makan siang. Jadi, kalau kau masih lama di sini, aku akan tinggal, begitu." la segera menjelaskan sebelum salah paham.
"Oh... ayo, ku temani. Kau mau makan apa?"
Saat itu juga tangan Us menepuk jidat. "Sepertinya aku salah berucap." Bicaranya begitu lirih agar tak terdengar oleh JJ."Us? Kau pusing?" Meletakkan papperbag yang JJ sendiri sampai lupa untuk diberikan pertama. Ia mendekati lelaki itu, meraih pundak untuk memastikan keadaan apakah baik-baik saja atau justru sebaliknya.
"Aku sehat." Us menyingkirkan tangan yang menyentuhnya. "Tenang saja."
"Ku pikir sakit, kau memegang kepalamu seperti itu. Jadi, khawatir." JJ mengamati terus wajah cantik itu. Sumpah, ia terpana, rasanya teringat jelas bagaimana adegan mereka berdua.
Us menghela napas lelah. Entah bagaimana caranya mengusir JJ. Dia pusing sendiri. Lagi pula pria itu bagaikan lebah yang berputar disekitarnya. Membuat telinga berdenging karena terus mengajak mengobrol hal-hal tak penting, sampai pekerjaannya harus terjeda. Membuatnya takut juga disengat karena tatapan mata seakan mendambakan sesuatu darinya.Memang paling benar adalah jauh-jauh dari keluarga berbahaya. Tapi, pengecualian untuk kerja di sana. Tidak ada perusahaan yang bisa menggajinya dua ratus ribu euro untuk sebulan. Dengan catatan minimal seminggu sekali harus pulang pergi ke pedesaan untuk menemui bosnya.
"Maaf, aku permisi. Jika kau masih mau di sini, silahkan saja." Us buru-buru berdiri dan menyambar tas.
Kaki terbalut stiletto itu terayun melewati JJ begitu saja.
Ketenangan Us terusik. Mau bekerja juga tak bisa jika ada lebah disekitarnya. Konsentrasi jadi buyar semua hanya karena satu pria yang terus berkeliaran di sekitarnya.Kini ia berdecak, suara langkah kaki terdengar mengejarnya. Padahal Us sudah berusaha menunjukkan biasa saja di depan JJ. Tidak terkesan mengungkit masalah malam itu. Dia sudah sengaja memperlihatkan bahwa baik-baik saja dan tidak masalah atas tragedi yang terjadi akibat ulahnya sendiri. Supaya tidak berurusan dengan keluarga tanjibul, apa lagi harus menjalin hubungan dengan salah satunya.
"Kenapa kau meninggalkan aku?" JJ berhasil menyusul dan kini ada di sebelah Us. "Jangan sendirian lagi, kalau kau mau makan, ku temani."
"Oh, tidak perlu, Tuan. Aku terbiasa mandiri, sendiri juga berani," tolak Us. Menekan tombol lift dan tatapan tertuju ke depan saja.
Mengabaikan JJ, siapa tahu lelah sendiri dan pergi.
"Ini, tadi sebelum pulang, aku mampir ke store Louis Vuitton. Ingat dirimu, dan akhirnya beli ini. Semoga kau suka." Dia mengulurkan papperbag yang sejak tadi dibawa. Tepat saat pintu lift terbuka.
"Aku tidak terima gratifikasi," tolak Us. Masuk ke dalam lift dan masa bodoh pria itu mau tetap di sana atau ikut ke dalam. Berharapnya yang pertama, tapi tidak mungkin karena saat ini mereka sudah berdiri bersebelahan."Ini bukan hadiah dari hasil korupsi. Tapi, uang kerja kerasku selama ini." JJ masih menyodorkan dan belum diterima juga oleh Us.
"Wah .... terima kasih atas kebaikan hatimu. Tapi, maaf, aku alergi barang-barang mahal." Asal saja mulut Us memberikan alasan penolakan. Untung saja ia sedang tak menyemprotkan parfum dari JJ. Bisa-bisa langsung diskakmat oleh pria itu jika ketahuan menerima dan memakai luxury brand.
Baru kali ini JJ mendengar ada orang yang alergi barang mahal. Jenis penyakit apa itu? Apakah mungkin Us akan gatal-gatal? Atau muntah jika memakainya?
Kenapa semakin ke sini justru lelaki itu terkesan tambah aneh, ya? Kalau begini ceritanya, jiwa JJ semakin meronta-ronta ingin mendekati. Belum pernah kenal maupun tahu Us. Antik. orang seperti ini
"Sayang jika ditolak, lagi pula sudah ku beli, terima saja." JJ memaksa tangan lembut itu memegang papperbag Louis Vuitton. Ia lalu menyembunyikan tangan di balik badan agar tak dikembalikan.
"Tidak, tidak. Nanti urusannya runyam atau diungkit-ungkit lagi jika ku terima." Us berusaha mengembalikan sesuai dugaan JJ.
"Mana ada ku ungkit. Memangnya saat
memberimu parfum, ada dibahas sampai sekarang?" Satu lengan JJ tetap di belakang pinggang, sementara sebelah lagi menahan di atas kepala Us agar berhenti berusaha.
"Lah... ini baru saja kau membicarakan itu." Masih tetap teguh dengan pendirian yang tak mau menerima. "Sepanjang hidupku pasti akan dihantui oleh bahasan barang-barang apa saja yang sudah diberi, seakan aku tak mampu membeli." la letakkan saja di bawah kalau JJ tak mau menerima. "Parfumnya, besok ku kembalikan. Tidak perlu memberiku apa pun, mulai sekarang." Pandangannya kini lurus ke depan.
Ada helaan napas panjang, JJ merasa sudah salah ucap. Mengungkit pemberian sepertinya sangat sensitif dan terkesan merendahkan. Atau juga lelaki itu menganggap ia tidak ikhlas memberikan.
"Aku tidak bermaksud begitu, Us. Tadi hanya memberi tahu dan contoh saja." Dia meraih pundak lelaki yang kini mengabaikannya lagi. "Ayolah... maafkan aku. Seharusnya tak ku singgung masalah parfum itu."
Mata Us melirik tanpa berkata apa pun.
JJ langsung paham itu. “Oke, oke. Aku tidak akan ulangi lagi."
Tak ditanggapi apa pun oleh US. Dia berharap semua selesai sampai di sana.
Sayangnya, semakin ia diam, JJ justru kian menjadi. Lihat apa yang kini pria itu lakukan terhadap Us.
"Jika kau mendiamkan dan mengabaikanku, maka pelukan ini tidak akan terlepas sampai kau mau memaafkan." Dia melingkarkan kedua tangan hingga Us berada dalam rengkuhan dan sempat memberontak tapi tak berhasil terlepas.
"Sesak... lepaskan! Ini di kantor!" Melihat tanda di lift yang menunjukkan angka tiga dan sebentar lagi sampai ke lantai tujuan, Us pun akhirnya menyerah dan mengalah. "Oke, aku maafkan.""Dan terima pemberianku juga."
"Iya, ku terima."
"Good boy." JJ melonggarkan dua belitan tangan tadi. Mengambil barang yang
tergeletak di bawah dan memberikan pada Us. Sekarang lelaki itu mau menerima walau diiringi wajah kecut. "Senyumnya mana?""Digadai." Melengos agar tak bisa melihat wajahnya lagi.
"Digadai berapa? Sini, ku bayar. Biar kau semakin cantik jika tersenyum."
Reflek Us menyikut perut yang terasa keras. Bisa-bisanya menggoda disaat ia dalam mode berusaha mengambil jarak sejauh mungkin supaya tidak digapai.
Akhirnya pintu lift pun terbuka juga. Us segera keluar dari sana. Otaknya buntu sekali, ke mana harus makan siang hari ini? Ada JJ yang terus mengekori membuatnya kehabisan akal untuk menendang manusia itu agar pergi.
Tiba-tiba ia merasakan pergelangan dicekal oleh seseorang. Langkahnya terhenti, dan JJ pelakunya. Membuat ia kini membeku tepat di tengah lobby."Senyum dulu, Us, atau ku cium?" pinta JJ. Dia hanya ingin lelaki itu tidak memasang wajah kecut terus, walau tetap memesona, tapi lebih baik jika dua sudut bibir ditarik sempurna.
Daripada bibirnya disengat lebah, lebih baik Us turuti saja. "Sudah? Puas?" Namanya sekeluarga, pasti semuanya sama. Pemaksa.
Maaf yah lama up nya soal nya abis. Berduka