6 : Penolakan

902 140 27
                                    

.

.

.

"NARUTO!"

Naruto menggeram malas mendengar teriakan sang Ibu, ia segera turun ketika selesai berbenah dengan kamarnya. Ibunya menunjukkan tepung dengan mata menyalak galak, Naruto berhenti menuruni tangga rumahnya ketika melihat itu.

"Memang Ibu menyuruhmu membeli tepung?! Ini yang mahal pula. Kau salah mengambil?!"

Naruto tertegun, ia segera menghampiri Ibunya dan melihat tepung kemas itu. Dirinya kemudian menepuk dahi, teringat sesuatu.

Mungkin saja saat ia menyarankan tepung yang murah pada Hinata, dirinya malah menaruh tepung mahal ini ke dalam troli-nya. Naruto berdecak, bisa-bisanya ia tidak sadar saat melakukan pembayaran! Harusnya ia cek juga struck belanjaannya!

"Maaf Bu, sepertinya kemasukan."

Kushina menghembuskan napasnya mendengar alasan putranya. "Lebih teliti lagi, mau bagaimanapun belanjaan ini memakai uangmu. Jangan boros!"

Naruto menghela napas. "Maaf, itu benar-benar tidak sengaja. Tak apa sesekali memakai tepung yang mahal Bu."

Kushina mendengus kasar. "Kalau membeli tepung yang biasanya, mungkin bisa dapat dua. Bisa-bisanya kau tidak selektif mengecek belanjaan."

Naruto menggaruk kepalanya, ia mendekati lemari pendingin untuk mengambil botol air. Lalu menuangnya ke dalam gelas. Ini semua karena Hinata bersamanya, ia menjadi lebih fokus pada wanita itu, juga pada penampilan wanita itu. Orang-orang di supermarket tidak berhenti menatap Hinata dari ujung kaki sampai kepala, tidak lelaki tidak perempuan, semuanya seperti terpesona dengan wanita itu. Naruto sendiri sampai was-was.

Bagaimana perasaan mendiang suami Hinata sewaktu dulu? Pasti lelaki itu tidak pernah merasa tenang.

"Naruto! Gelasnya penuh!" Kushina berteriak lagi, Naruto terperanjat saat gelasnya terisi penuh air dan membuat airnya membasahi lantai.

"Astaga!" Naruto segera membersihkannya, Kushina geleng-geleng kepala melihat kelakuan putranya belakangan ini. Sudah sering kali Kushina memergoki putranya melamun sambil senyum-senyum.

"Dasar anak bujang! Apa yang kau pikirkan sebetulnya?!" Kushina membantu membersihkan, lagi-lagi, Naruto menggaruk kepalanya yang tak gatal. Rasanya jadi kacau hanya karena kepalanya memikirkan Hinata. Kalau begini, Naruto tidak ada bedanya dengan teman-teman kantornya yang mesum.

"Maaf Bu, tidak sengaja." Naruto meringis, Kushina berdecak dan mengelap pantri dapur sampai bersih.

"Bagaimana kalau menikah nanti?! Kau masih seperti anak kecil begini! Nanti Ibu yang malu tahu!"

Naruto mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan sang Ibu. Malu katanya? Ibunya tidak tahu saja kalau di kantor dirinya yang paling sering dijodoh-jodohkan dengan gadis cantik karena rupa wajahnya yang mirip sang Ayah, terlihat gagah dan serius, Naruto yang paling sering di dekati perempuan daripada ia yang mendekati.

"Nanti kalau istrimu tahu kau itu masih seperti anak kecil, apa-apa diberitahu, pasti istrimu kerepotan!"

Naruto berdecak. "Ibu mulai bicara aneh-aneh."

Kushina menyalakan kompor. "Ya memang. Kau itu kan pasti menikah, memangnya mau menjadi bujang sampai tua? Memang sudah siap hidup sendirian? Ibu tidak selamanya ada di dunia untuk mengurusi mu."

"Ibu..." Naruto merasa takut jika Ibunya mengatakan hal semacam itu. Apa-apaan itu? Mengapa jadi membicarakan pernikahan hanya karena Naruto melamun?

"Memang benar begitu. Jangan serius mencari uang saja sampai badanmu itu linu, coba mencari pendamping juga. Kenalkan pada Ibu wanita pilihanmu."

Sincerity Of Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang