2. PENCURI BAHAGIA

288 29 2
                                    

"Bang Hamsa kecelakaan lagi ya, Kak?"

"Lagi?"

Berhubung memiliki jawaban yang sama untuk Karisa dan mama, sambil mengoles selai nanas pada roti, aku mengangguk. Hari ini aku sengaja menolak nasi goreng telur kesukaan, tidak boleh cheating, kemarin sudah mabok kalori habis-habisan dari bubur ayam Teh Rere dan satai padang dengan lontong yang aku beli bersama Hamsa.

"Bocah itu kenapa enggak naik ojol aja, Ra?" keluh mama.

"Takut mati kalau naik ojol, Ma."

Ini beneran, Hamsa pernah bilang jika lebih baik kecelakaan tunggal dengan motornya daripada harus kecelakaan bersama orang lain, tidak juga ingin naik bus.

"Gue ogah kalau harus mati dalam bus karena nggak bisa kabur, Ra." Begitu kata Hamsa.

"Terus pagi ini dia mau nebeng mobil kamu?" tanya mama.

Aku mengangguk saja sebelum menandaskan minumku. Duh, sebenernya enggak kenyang, nih. Jangan sampai nanti siang aku cheating pakai Pop Mie, deh.

"Nanti dia bisa bikin mobil kamu kecelakaan, dong?"

"Uhuk!" "Ma!"

Aku masih terbatuk sambil memukul dada karena tersedak, sementara Karisa kembali menegur mama.

"Ma, kalau bicara yang bener, atuh." Karisa mengelus punggungku di sisa batuk. Sementara sedetik berikutnya, pandanganku naik menatap horor mama yang terlihat santai.

"Mama kok gitu?" Amit-amit, jangan sampai menjadi doa.

"Habisnya Mama jadi ikut khawatir tahu." Duh, ini isi kepala mama dan Hamsa pasti sepaket. Lagi-lagi aku tidak ingin memberikan jawaban.

"Lagipula, kenapa sih Hamsa enggak berangkat sama pacarnya saja? kenapa harus sama kamu?"

Aku diam sesaat. Mama enggak salah bertanya, sih.

"Ya...." Duh kok aku jadi enggak punya jawaban, sih? Tapi, sebelum bersama Aera, Hamsa kan memang terbiasa nebeng mobil aku. Memang cowok enggak modal, sih, tuh anak.

"Kamu tuh terlalu sering sama Hamsa, bikin cowok lain takut deketin kamu tahu nggak."

"Maa...m" Wait a minute, aku sedikit waspada. Obrolan soal Hamsa memang pasti berujung menyinggung kisah asmaraku yang belum juga memiliki kemajuan.

Mama terlihat lebih serius. Aku menelan ludah susah payah, naluriku mengantarkan pikiran yang sejak beberapa bulan ini mengusik.

"Ra, tolong jangan lupa, minggu depan Karisa lamaran, dan Mama enggak akan kasih Karisa izin menikah sebelum kamu menikah duluan."

"Maaam..," rengekku dan Karisa serempak. Kan! Ini yang paling tidak aku suka dari obrolan kami, selalu berunjung meminta aku untuk segera menikah.

Aku bukannya tidak ingin menikah, memangnya siapa yang bisa menikah jika calon saja tidak punya? Lagipula, syarat mama kali ini tidak hanya merepotkan aku, tetapi juga membebani Karisa, aku jelas tidak ingin Karisa menunda pernikahan hanya karena aku yang belum juga menikah di usia 27 tahun.

"Ma, jodoh kan nggak ada yang tahu."

"Tapi jodoh bisa diusahakan, Ra. Bosan mama sama alasan kamu itu," dengkus mama sebelum mendorong piring kosongnya dan beralih menghabiskan minum. Aku semakin cemberut. Saat melirik Karisa yang duduk di sampingku, wajah murungnya semakin membuat aku merasa bersalah. Begini nih kalau papa masih dinas, tidak ada yang membela aku di depan mama.

"Pokoknya yah!" Mama terlihat menjeda, ia terlihat ingin kembali bicara karena tatapannya kali ini lebih serius.

"Jangan deket-deket sama Hamsa kecuali dia yang ngajak kamu nikah. Paham?"

On The RockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang