5. ARA'S DREAM WEDDING

265 30 1
                                    

Hai, aku balik lagi ^^

Oh ya, untuk bab 6-9 sudah ada di Karyakarsa ya hihi ^^

5. ARA'S DREAM WEDDING

"Lo mending nikah sama Hamsa aja, deh." atau "Kalian tuh sebenernya cocok jadian. Kenapa nggak jadian aja, sih?" Tidak pernah terdengar asing. Orang seperti Teh Rere saja sampai bilang, "Lo beneran nggak bisa naksir Hamsa saking anehnya tingkah dia ya, Ra?"

Hal-hal begitu selalu berujung ya kali gue nikah sama temen sendiri atau bukan selera gue. begini-begini, aku memiliki standar dan Hamsa tidak pernah mampu memenuhinya. Di tahun-tahun awal pertemanan kami, papa belum memberikan izin padaku untuk bisa bekerja dengan mobil sendiri, Hamsa paling rajin menjemput karena aku pelit untuk keluar ongkos. Sewaktu itu, Papa sampai perah mengira Hamsa pacarku karena dia yang paling rajin menjemut tiap weekdays daripada abang ojol. Mama saja ikut-ikutan mengompori, "Nggak bawain bekal pacar kamu itu, Ra?" saat aku sedang membuat bekal untuk diri sendiri.

Rasanya pembelaan tidak akan berarti apa-apa. Aku tiap hari bilang, "Dia cuma teman, Ma." Selalu berujung tidak ada yang percaya. Pada akhirnya, semua mereda justru usai lima tahun berlalu. Dan terbukti, Hamsa sekarang lebih banyak disudutkan oleh papa dan mama karena terlalu dekat denganku. Alasan: bikin aku jomlo.

Aku tidak pernah mau repot-repot mempermasalahka hal seperti itu. Selama tidak merugikan, toh selama ini Aera juga tidak menunjukkan cemburu. Aku dan Hamsa juga menyadari batasan. Aku menganggap Hamsa seperti adik sendiri dan sebaliknya, Hamsa datang padaku sebagai seorang adik laki-laki yang tidak pernah ingin kehilangan tempat bercerita. Selalu sebatas itu. Walau kadang-kadang, permintaannya selalu aneh. Dulu, sebelum mengenal Aera, aku bahkan pernah harus pura-pura menjadi pacarnya.

"Ra, ke Jogja, yuk," prolognya dulu. Aku masih ingat, saat itu masih lembur revisi sinopsis untuk meeting besoknya. Sementara pekerjaan Hamsa sudah beres, ia hanya menemani.

"Boleh. tapi nggak sekarang." Pandanganku masih belum beralih dari layar laptop. Sinopsis kali ini berhasil mencuri setengah kewarasan karena alurnya benar-benar diluar nalar. Banyak cacat logika, belum lagi penulisnya ngeyel abis.

TAK! Kursiku berbunyi saat Hamsa merapatkan kursinya. Aroma cutrisnya menguar padahal, sudah malam begini.

"Maunya lusa."

Aku tersedak ludah, dong. Perasaan kemarin aku habis membersihkan telinga di THT, seharusnya apa yang aku dengar hari ini tidak membuat jantungku nyaris jatuh ke kaki, kan?

Aku memukul lengan Hamsa sampai mengaduh. "Yang bener aja! Lo pikir kita lagi bikin candi heh?" Kan. Fokusku jadi kacau.

"Tapi memang harus lusa. Mau kondangan. Gimana? Besok kita minta cuti langsung." Wah, lihatlah, ekspresi tenang Hamsa kali ini bikin perut aku mulas.

"Nggak!" Bukan urusan meminta cuti, persiapan satu hari mana cukup untuk agenda ke Jogja meski hanya kondangan.

"Gue bayarin deh. Gimana?"

"Nggak." Aku tetap teguh pendirian. Badanku pasti akan capek sekali.

"Kita berangkat Jumat balik senin pagi, gimana? Sekalian jalan. Ya?"

Jalan? Aku menoleh pada Hamsa. Sorot matanya terbaca penuh permohonan. Bisa dibilang aku memang memiliki banyak wishlist jika memiliki kesempatan liburan ke Jogja.

"Sekian ketemu bunda aku. Gimana?"

Aku mendesah. Hamsa tuh kalau ingin sesuatu manis banget pembawaanya, mana pandangannya sampai berkaca-kaca begitu.

"Bunda?" Aku belum pernah bertemu bunda Hamsa, hanya sering mendengar ceritanya dan mengobrol sedikit setiap Hamsa berkomunikasi lewat telepon.

Hamsa mengangguk.

On The RockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang