4. NIKAH SAMA GUE, YA?

257 33 1
                                    

Jika kisah cinta Hamsa adalah matematika, maka kisahnya sudah aku hapal diluar kepala. Patah hati pertama menyebalkan Hamsa adalah di tahun pertama kami bekerja bersama, gimana tidak menyebalkan, marahnya Hamsa pada mantan gebetan membuat dia bekerja sambil marah-marah, semua tim promo dan editor kena bad mood-nya Hamsa. Kalau tidak salah mengingat, namanya Tara. Adik tingkat Hamsa yang kebetulan masih menjadi mahasiswa semester akhir dan tinggal di indekos kawasan ITB. Masih anget-anget tahi ayam banget itu. Hamsa sering sekali membantu penelitian Tara sampai rela sabtu dan minggu bolak-balik JakSel ke Bandung, mana nyaris tiga jam jika weekend begitu. Belum lagi jika Hamsa mendapat lemburan weekend, kerjaan Hamsa semakin menggunung. Rutinitas itu ia lakukan nyaris satu tahun penuh hingga kabar Tara lulus kami dengar. Sampai akhirnya Hamsa sempat bilang, "Gue kayaknya mau ajak Tara serius."

"Uhuk!" Aku langsung tersedak americano dan melotot pada Hamsa. Saat itu baru kami berdua yang mengisi kekosongan kubikel.

"Ra, pelan-pel-"

"Diem dulu!" Aku menimpuk tangan Hamsa yang terulur hendak mengusap sudut bibirku yang kotor americano.

"Nikah?" Aku masih ingat jika seminggu sebelumnya Hamsa merayakan ulang tahun ke 21 tahun.

"Ya bukanlah, Mbak. Maksud gue belum. Ya, lebih serius dari temen," koreksinya.

"Bentar." Aku sepertinya perlu memastikan sesuatu.

"Lo bolak-balik Jakarta ke Bandung sebenernya masih HTS gitu?"

Seketika itu, tubuhku lemas melihat Hamsa yang meringis.

"Astaga Hamsa! Lo bucin banget, ya?"

Atau sebenarnya Hamsa yang kurang ajar karena menggantung hubungannya dengan Tara? Hanya saja, seminggu usai Hamsa mengabarkan akan mengajak serius Tara, di senin pagi ia bilang, "Tara cuma nganggep gue abangnya aja."

Yah, begtiulah. Habis itu mode Hamsa beneran senggol-bacok. Tim promo dibilang nggak pinter bikin skrip banner karena ia selalu kena semprot Pimred setiap salah membuat desain. Aku juga kena semprot karena brief cover yang aku buat jelek. Huh, menyebalkan.

Ajaibnya, Hamsa tidak akan patah hati lama-lama, usai percintaannya dengan Tara kandas, ada saja cela Hamsa untuk kembali menjalin hubungan dengan cewek lain. Namanya Andiri. Tiga bulan setelahnya, Hamsa dekat dengan pegawai asuransi yang kantornya tepat di seberang jalan kantor kami. Tapi nih ya, dari seluruh kisah cinta Hamsa, kisah cinta yang satu ini paling bikin aku tertawa. Habisnya setelah dua minggu berkenalan, Hamsa datang-datang membawa kabar jika mereka sudah jadian. Lucunya, di hari pertama Hamsa ngapel, hari itu juga Hamsa putus.

"Gue habis ngapel Andiri," buka Hamsa malam itu saat ia tahu-tahu datang ke rumah malam-malam sambil membawa roti bakal. Kalau saja dia tidak membawa sesajen, sudah aku usir. Akhirnya sambil menyantap roti bakar, aku mulai mendengarkan cerita Hamsa. Kami duduk di lantai sambil menaruh roti bakar di depan meja sofa.

"Terus?" tanyaku sebelum mengunyah roti bakar.

"Awalnya semua asik banget, kita ngobrol sambil ketawa-ketawa."

"Bagus, dong," balasku tidak peduli.

"Iya bagus sambil dengerin papanya ngorok."

Mendengar itu, aku tertawa, dong. "Nggak boleh gitu. Calon mertua lo tuh," pesanku serius.

Alih-alih terlihat merasa bersalah, wajah Hamsa sarat akan ekspresi ogah-ogahan. Kunyahanku melemah, ada masalah? Sambil menyimak, aku semakin giat menyantap roti.

"Makin lama suara ngoroknya ganti lagu rohani."

Aku melotot. "Heh? Kalian...." Aku sedikit menggantung ucapanku.

On The RockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang