1. KARMA NIKAH

490 35 0
                                    

1. KARMA NIKAH

Aku tidak menyimpan dendam pada rumah sakit, tetapi sewaktu menyadari jika cowok itu nyaris tiga kali masuk rumah sakit dengan permasalah itu-itu saja–kecelakaan tunggal di jalan, semua rumah sakit rasanya ingin aku maki habis-habisan.

Ra, gue masuk IGD lagi, pesan singkat yang dia kirim setengah jam lalu. Padahal, aku sudah menyalakan laptop, membalas pesan-pesan penulis yang menumpuk di dua hari weekend kemarin, juga nyaris menghabiskan bubur ayam yang Teh Rere belikan sambil menonton beberapa fancam Hendery di konser NCT Nation kemarin.

"Mau ke mana Ra, bawa tas begitu?" Yang Teh Rere tanyakan saat aku buru-buru menutup styrofoam dan segera menggendong tas.

"Rumah sakit."

Sekilas, aku bisa melihat ekspresi terkejut Teh Rere. "Hah? Penulis lo masuk rumah sakit?" Tidak heran kalau Teh Rere menyinggung penulis karena memang kan nyaris 80% yang mencuri kesibukanku adalah para penulis. Namun, kali ini berbeda. Aku menggeleng.

"Hamsa. Kecelakaan lagi. Aish, bocah itu kapan sih bisa hati-hati."

"Hah? Serius? Gue ikut, deh." Teh Rere sudah berdiri.

"Nggak usah. Teh Rere di sini aja. Nggak papa gue sendirian."

Aku sengaja tidak membiarkan yang lain ikut menengok. Mereka masih memiliki banyak pekerjaan, masih ada jam makan siang dan juga jam pulang kerja. Lagipula, Hamsa tidak mau jika orang berbondong-bondong mengkhawatirkan kecelakaan ketiganya tersebut.

Mas Bara–pimred kami juga berniat menengok usai beres meeting dengan tim manajemen nanti, tetapi aku tetap melarang. Jangankan teman kantor, tabiat Hamsa yang senang merepotkan aku, tetapi tidak ingin orang lain repot membuatku juga urung mengabari Aera–pacar Hamsa. Biar aku dulu, karena Hamsa cenderung tidak senang banyak orang datang dan berujung menyalahkan dirinya sendiri, seperti pagi ini.

"Ini pasti karma buat gue."

Lagu lama Hamsa. Mataku berotasi sebelum mendekat pada tubuh cowok yang tengah bergelung dalam selimut salah satu bilik IGD. Usai mendapat penanganan, kami harus menunggu infus Hamsa habis sebelum diizinkan untuk pulang. Beruntung–aku sangsi bilang beruntung karena bibirnya bahkan sobek dan sikunya memar-memar. Jangan lupa keningnya yang membiru dan pipinya yang harus mendapat penanganan perban karena mengalami luka sobek. Rambut Hamsa yang panjangnya melewati telinga tersebut juga sudah berantakan.

"Lo baru tidur habis subuh, kan, gara-gara nyelesain brief merch? Jam delapan langsung berangkat, kena macet, nggak fokus di jalan. Akhirnya lo kec–"

"Ini bukan yang pertama, Ra!" kepala Hamsa akhirnya muncul dengan wajah kusut. Boleh nggak sih aku seterika mukanya?

"Iya. Makanya demi keselamatan, besok lo berangkat sama gue."

"Ini karma," cicitnya mengulang kalimat yang paling aku benci. Lama-lama aku bekap wajah Hamsa dengan bantal.

"Karena lo belum juga nikah?"

Hamsa mengangguk. Aku kira, menghadapi isi kepala ajaib penulis yang pernah menulis kisah perempuan koma yang bisa hamil adalah yang paling memusingkan. Ternyata cowok di depanku jauh lebih ajaib.

Hamsa pernah bilang memiliki nazar jika menginjak usia 26 tahun dia harus menikah. Apa pun yang terjadi dan dengan siapa pun itu, sementara Aera, pacar tiga tahunnya belum juga membaca kode-kode keras yang Hamsa lempar. Masih gagal mengode Aera, Hamsa terjebak pikiran sintingnya yang bilang; jika karena Hamda tidak kunjung menepati nazarnya, dia akhirnya beberapa kali mengalami musibah.

"Kalau gue belum juga nikah, bisa-bisa gue mat–aduh!" Aku memukul mulutnya yang membiru.

"Ra!" Biar saja dia melotot dan sadar.

"Mulut lo itu minta gue laudry, ya?"

Dengkusan Hamsa lolos.

"Gue harus nikah." Pancar matanya penuh keyakinan. Siapa sih yang nggak mau menikah, tetapi ini harus banget karena nazar?

"Sa, Tuhan nggak akan sejahat itu sama lo. Apalagi perihal menikah, itu diluar kuasa lo."

Harus berapa kali aku menegaskan bagian ini? Sampai capek karena ada saja cara Hamsa berkilah jika semua berasal dari karma.

"Tapi secara finansial dan usia gue udah siap, Ra!"

"Dan Aera mungkin belum." Aku benar, kan? Siapa tahu setiap kode Hamsa terbaca, tetapi Aera tidak bisa melanjutkan karena belum siap. Hamsa justru menggeleng.

"Dia pasti sadar. Apa dia butuh gue lamar besok ya?"

Aku melotot. "Ha?"

"Iya!" Astaga kepala Hamsa pasti bermasalah setelah terbentur aspal. Dia tiba-tiba bangun dan menggenggam tanganku, membuat sangsi.

"Ra, besok temenin gue beli cincin, ya? Gue harus langsung lamar Aera biar dia tahu kalau gue serius. Gue nggak mau kecelakaan lagi."

Aku mendesah lelah. "Iya. Tapi, pertama sembuhin dulu wajah lo. Paham?"

Hamsa mengangguk sebelum melingkarkan kedua tangannya pada pinggangku hingga dadanya merapat pada perutku. Aku memejamkan mata menyadari sampai kapan pun, cowok ini adalah bocah yang selalu merepotkan sekaligus membuat terus-terusan khawatir.

"Pulang sama gue ya, motor lo masuk bengkel."

Hamsa mengangguk. "Hu'um. Makasih ya, Ra."

Hamsa mendongak. "Lo... nggak bilang ke Aera kalau gue habis kecelakaan, kan?"

Aku menyeringai jahil. "Dia perjalanan ke sini," dustaku.

"Ra!"

[]

Hai, di karyakarsa anindastink udah ada 5 bab dan gratis ya, jadi kalau penasaran bisa baca di sana ^^

On The RockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang