9. CAN'T GET IN THE WAY

288 24 8
                                    

"Nggak di makan, Sa?"

Gestur malu-malu dengan kepala menunduk juga tangan kiri yang terampit di antara paha dan tangan satunya hanya bisa mengaduk nasi goreng yang mulai dingin, membuat aku tidak bisa menahan tawa. Pertanyaan papa barusan terdengar basa-basi, tapi pasti di pendengaran Hamsa seperti pilihan antara hidup atau mati.

"Nasi goreng sosis bakso kesukaan kamu kayak biasa lho, Sa." Mama ikut menimpali.

Hamsa selalu berhasil membuat aku naik darah dan kesal dan satu-ssatunya yang bisa membuat dia tidak berkutik tentu papa dan mama.

Aku bisa melihat Hamsa yang terlihat meringis. "Iy–"

"Lama, deh!" potong Karisa. Bukan hanya Hamsa, aku saja sampai tersentak dengan ucapan Karisa barusan.

"Intinya aja. Kenapa coba Bang Hamsa pede banget minta Kak Ara jemput?"

"Jangan ngomong dulu!" sambung Karisa mengulurkan tangan saat Hamsa terlihat sudah ingin membuka mulut. Daripada aku, Karisa mode senggol bacok memang lebih mengerikan.

"Pasti Bang Hamsa berharap di antar sama kak Ara pulang ke kosan terus skidipap–"

"Karisa!" Kali ini aku ikut meneriaki Karisa bersama Hamsa. Isi kepala Karisa memang harus ditobatkan. Mandi kembang tujuh rupa juga boleh. Lagipula, Karisa harusnya mengingat jika sejak dulu aku selalu pulang aman sewaktu beres menjemput Hamsa.

"Gue benar, kan, Kak?"

"Ck," decak papa mengalihkan atensi kami.

"Ini kan bukan yang pertama Karisa," ungkap papa sepertinya sedang mencoba menenangkan si bontot kami.

Alih-alih mengiyakan, aku bisa melihat bibir Karisa yang semakin tertekuk.

"Lagipula Papa selalu mewanti-wanti, Hamsa mabuk, artinya pulang ke sini."

"Tapi, Sa, kamu tahu nggak kenapa Papa selalu membolehkan Ara sama kamu bahkan saat kamu teler seperti semalam?" lanjut Papa beralih pada Hamsa.

Aku mendengkus geli mendengar ucapan barusan. Gaya bicara papa seperti menganggap aku masih bocah saja.

"Kenapa, Pa?" beo Hamsa. Astaga, ekpresi Hamsa benar-benar mirip anak kecil.

"Ya ini, supaya kalau kamu muntah. Papa yang gantiin bajunya."

Aku menahan tawa melihat ekspresi tercengang Hamsa. Pagi ini Hamsa memang mengenakan kaus milik papa.

dan di tempatnya, Hamsa hanya bisa malu-malu seperti perawan saja.

"Jadi Karisa, berhenti khawatir, kakak kamu aman. Oke?" Yang justru semakin membuat Karisa cemberut.

Ngomong-ngomong, semalam, jangan harap aku mengantar Hamsa ke kosannya. Membawa Hamsa ke kosan sama saja cari mati dan mengangkut Hamsa ke rumah kemudian membiarkan papa mengurus sisanya adalah solusi. Papa benar mengurus keluhan Hamsa sampai muntahannya. Kalau dia bilang karena demi melindungiku, jangan percaya. Semalam, saat aku mengetuk pintu kamar papa dan bilang Hamsa ada di mobil. Papa yang sayang banget pada Hamsa langsung bilang, "Duh anak lakik papa itu ngeyel bener sih kalau stres."

Semalam, papa mengurus Hamsa dengan telaten. Sejak dulu, Hamsa benar hadir seperti anak ketiga buat papa. Hanya saja, mana bisa mengakui di depan Hamsa, bisa besar kepala tuh anak.

"Udah, udah. Sekarang lebih baik makan. Kasihan tuh, Hamsa mukanya udah merah banget," komentar mama mengundang tawa kami.

Hamsa beruntung, setelahnya kami menghabiskan sarapan, sebelum Hamsa membantu merapikan sisa sarapan dan juga ikut membereskan cucian bersamaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

On The RockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang