Even without gravity on earth, i will still fall for you.
- Sabiel Nuraga.
***
Waktu bergulir tergesa sore itu, senja menjadi malam yang hadir terlampau awal, embusan anila perlahan menerpa-buat tulang-tulang di sekujur tubuhnya bergemeretak. Perempuan itu mengeratkan jaket yang membalut tubuh mungilnya, sebab hari kian dingin.
"Raga!" Perempuan itu berteriak, sembari melambaikan tangan-berikan tanda bahwa ia sudah siap untuk pulang.
Sabiel Nuraga atau yang kerap dipanggil Raga itu menoleh, dapati seorang perempuan yang sedang berdiri tak jauh dari fakultasnya.
Raga tersenyum. "Tunggu sebentar lagi." Dia tidak bersuara, pemuda itu hanya memberi jawaban lewat gerakan bibir saja.
Sedang perempuan dengan surai hitam pekat itu hanya mengangguk, berikan senyum simpul-tampak manis dengan lesung pipi yang hiasi pipi kirinya. Perempuan itu tak merasa terusik, meski bisa ia lihat dengan jelas bahwa Raga tengah larut dalam obrolan bersama teman wanitanya.
Pijakan Kalana tidak goyah, perempuan itu masih setia menunggu Raga sampai pemuda itu benar-benar selesai dengan segala kesibukannya.
"Kala!" panggil Raga, suara bass-nya hampiri rungu Kala. Perempuan yang sejak tadi sibuk mengotak-atik ponsel pun menoleh, mendapati sosok Raga yang sepertinya sudah siap untuk pulang.
"Nunggu lama, ya? Sorry." Suara bass milik Raga kembali terdengar, ia tatap perempuannya dengan teduh. Tanpa Raga tahu, bahwa tatapan teduh nan utuhnya itu selalu beri Kalana ketenangan.
Raga menarik senyumnya simpul, sebelum pemuda itu menandas, "Pacar aku emang selalu cantik, ya."
Raga selalu sukses buat pipi Kalana memerah, kalimatnya bangunkan kupu-kupu di dalam perut si gadis, hingga berterbangan bebas di dalam sana.
"Jangan terlalu manis, Ga. Aku masih muda, gak mau kena diabetes." Kalana berdalih-berikan ekspresi datar, padahal rona merah di pipinya tidak bisa bohongi Raga.
Sedang Raga hanya tertawa kecil, dia terlalu menggemaskan. Rasanya ingin ia bawa perempuan itu pergi menjauh dari bumi-agar tidak ada satu pun orang yang bisa melihat betapa cantik Kalana-nya.
Sebab, sesempurna itu seorang Kalana di mata Sabiel Nuraga.
***
Kalana melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan, ternyata waktu masih menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, langit tampak lebih gelap dari pada biasanya. Kalana mengeratkan pelukan, menyandarkan kepala pada bahu lebar milik Raga.
Di balik helm fullface-nya pemuda itu tersenyum tipis, ia sentuh pelan jemari Kalana sebelum Raga menggenggam seluruh jemari gadis itu.
"Dingin, Kal?" Suara Raga mengudara, tidak ada jawaban. Terlalu bising hingga pertanyaan itu tak dapat didengar oleh rungu Kala.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Teen FictionDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...