14.Being in Two Places at Once

843 153 19
                                    

Pagi-pagi sekali, ketika dirinya membuka pintu jendela yang menghadap langsung pada balkon Atlas adalah pria yang sama mengitari pohon dibelakang rumah mereka.

Hazel menatap malas. Memang Atlas dan jiwa kompetitifnya, ia yakin sekali ini hasil pembicaraan mereka beberapa waktu yang lalu.

Saat itu, Hazel dan Atlas mengantar kedua orang tua Atlas ke stasiun kereta cepat tujuan bandung. Saat pulang, Hazel baru menyadari sesuatu.

Ternyata selama ini ada pohon besar di belakang rumahnya. Iya, Hazel begitu percaya diri mengklaim bahwa pohon itu dimiliki oleh keluarganya selama ini.

"Zel, dilihat dari sini aja udah jelas kalau pohon ini lebih masuk ke tanah rumah gue. Ini properti rumah gue kok jelas."

"Mustahil, jelas-jelas condongnya ke rumah gue juga. Liat nih baik-baik, anggap aja sekarang kita berdiri di nol derajat, keliatan kan kalau pohonnya lebih condong ke rumah gue?"

"Debat terus, jelas-jelas ini masuknya udah di tanah rumah keluarga gue." Jawaban Atlas kali ini membuat Hazel mendelik tidak suka.

Padahal Atlas sebelumnya tidak peduli tuh dengan keberadaan pohon besar di belakang rumah mereka, sekarang Hazel mulai bicara, tiba-tiba saja Atlas menatap penuh minat.

Memang naturalnya Atlas ya ingin mengganggu semua yang Hazel punya?

"Suatu hal sia-sia bicara sama lo, Atlas. Mending gue tidur di rumah."

Perdebatan itu tidak berakhir begitu saja, karena Atlas mengekori Hazel, meminta agar mereka lanjut nonton episode lainnya dari the 100.

Hazel berani sumpah ia kira sampai hari itu saja mereka dan perdebatan mengenai pohon. Tapi lihat sekarang, perempuan itu bahkan tidak yakin sekarang jam berapa, tapi Atlas sudah sibuk mengukur pohon tersebut.

Sebegitu inginnya Atlas membuktikan kalau Hazel salah.

Apalagi ketika Hazel melihat ke bawah, melihat bagaimana Atlas kini menunjuk kearahnya dari arah bawah, bersiul dengan wajah senang.

"Come here pretty lady!"

Hazel mengangkat alisnya. Atlas saat ini memilih untuk memakai kaus putih dan celana berwarna hijau serta luaran berwarna kuning yang ia ikat di sekitar pinggulnya. Hazel juga bisa melihat bagaimana Atlas berpose seakan membidik Hazel setelahnya.

"Ayo kesini, cepat kesini."

"Gak, maaf, tapi gue menolak buat mengorbankan pagi yang cerah ini buat kebawah dan ujung-ujungnya berdebat. Atlas, be normal for once, gak perlu mau buktiin gue salah."

Atlas menurunkan tangannya.

Sesuai dugaan, Hazel memang cerdas. Perempuan itu langsung tahu apa yang sedang Atlas lakukan, tebakannya tepat tanpa meleset sedikitpun.

Tapi bagaimana ya? Atlas kan cukup keras kepala, ia bahkan terbayang saat Hazel mengajaknya berdebat mengatakan kalau pohon itu lebih banyak bagiannya berada di rumah Hazel.

Atlas yakin tidak kok.

Maka dari itu ia mengangkat tangan hanya untuk melambaikannya.

"Udah telat, lagipula tinggal satu langkah terus gue buktiin kalau lo salah."

Bukannya Hazel bersikap sok tahu. Tapi Atlas memang begitu konsisten, yang berbeda mungkin penampilan dan fakta kalau suaranya lebih berat.

Sisanya? Terlalu persis, akarnya tidak berkembang sejak berapa belas tahun yang lalu.

Sekarang Hazel yang bertanya pada dirinya sendiri, ingin turun ke bawah dan memberi makan pada ego Atlas, atau melewati hari tanpa menghiraukan pria itu.

Hocus PocusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang