DELAPAN

101 56 24
                                    

Bian's

Setelah Sir Agus memaksa gue untuk memberi speech atas kemenangan Asian Mathematics Olympiad. Gue langsung menuju kementrian pendidikan untuk melakukan technical meeting terkait lomba lanjutan dalam mewakili Indonesia.

Setelah kemenangan gue dalam Sains Nasional Indonesia beberapa bulan lalu, gue kembali di hubungi untuk menjadi perwakilan Indonesia dalam International Science Competition (ISC). Indonesia akan turut bergabung dalam salah satu kejuaraan tersebut, kali ini Indonesia mengirim dua orang pemenang dari lomba sebelumnya untuk menjadi perwakilan.

So here I am—perwakilan Sevilla School —juara satu sains nasional Indonesia, dan juga Anintha—juara dua Sains Nasional Indonesia—perwakilan Sevilla School —juga perwakilan Indonesia—bersama gue, melawan negara maju lainnya.

Gue berusaha untuk menyimak apa yang disampaikan Pak Menteri, namun sayangnya pikiran gue terlanjur kacau setelah mendapati pesan dari Bunda yang mengatakan "Ada Genta dirumah."

Pesannya cukup sederhana bagi orang umum, namun sayangnya ini Bang Genta, dan gue cukup hafal dengan kelakuannya yang tiba-tiba berada di rumah.

Kalo bukan pipi memar dengan tanda kebiruan, lantas apa?

Bang Genta terkenal dengan pendiriannya yang kuat, sampai disitu cukup bagus untuk seorang laki-laki, namun pendirian Bang Genta selalu bertolak belakang dengan pendirian Eyang. Sedikit gambaran, Ares adalah bibit kenakalan yang kelak akan menjadi seperti Bang Genta—seperti itu kiranya kata Bang Genta.

Bang Genta pernah berkata, kalau gue dan Ares adalah satu kesatuan dirinya. Gue yang ber-prinsip, dan Ares yang selalu melanggar batas-batas, belum selesai sampai disitu karena kalimat selanjutnya yang Bang Genta katakan adalah "Kalau lo berdua dijadiin satu, jadilah gue." katanya itu cukup dijadikan alasan untuk Bang Genta sayang banget sama kita berdua, walaupun tidak melebihi sayang pada Thealla.

Abu Putra Bianthara
Lo bikin ulah apa kali ini?

Bang Genta
Buset, otak lo nggak bisa lebih positive?

Berfikir meninggalkan pertemuan dan pulang ke rumah adalah hal yang tidak akan gue lakukan, buat gue waktu lebih berharga dari pada uang, karena dengan waktu kita dapat menghasilkan uang, sedangkan uang tidak dapat mengembalikan waktu.

Begitu technical meeting selesai, gue langsung melajukan motor dengan begitu cepat. Otak gue nggak bisa mencerna apa-apa, mengingat terakhir kali Bang Genta berada di rumah gue dengan kondisi yang begitu parah.

He's almost dead.

Bagaimana keadaan muka dia yang berlumuran darah, tangis raungan Bunda yang begitu kencang, juga ucapan dokter yang mengatakan bahwa semua harus diserahkan kepada Yang Maha Kuasa.

Hampir satu bulan Bang Genta dalam masa kritis, hampir juga satu bulan Bunda selalu menemani Bang Genta di Rumah sakit tanpa sepengetahuan Eyang. Bukan karena gue nggak mau menemani Bang Genta.. tapi karna gue harus melakukan kewajiban gue sebagai pelajar, yaitu sekolah.

Masa kritis itu akhirnya selesai, Bang Genta mulai pulih. Ketika keadaaanya semakin membaik, gue mencoba bertanya akan kejadian sebenarnya. Jawabannya simpel, apalagi cara jawab Bang Genta seperti seseorang yang hidupnya masih 100 tahun lagi.

"Sengaja nabrak tembok."

Gue yang selama sebulan lebih menderita karna harus bolak-balik rumah sakit, ditambah ke-khawatiran gue dengan kondisi Bunda yang menghabiskan seluruh waktunya dirumah sakit, mendadak terbakar emosi.

The Reasons To Stop In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang