SEMBILAN

130 55 35
                                    

Kayla's

For God's sake!

Dari segala kemungkinan yang terjadi di muka bumi, kenapa bisa ketemu Bianthara limited edition—disini—di tempat ini—di tempat yang nggak bisa gue hindari!

Bahkan Bianthara kali ini lengkap, karena pemegang tahta tertinggi garis keturunannya juga berada disini.

Focus Kayla.

Tangan gue menggengam erat lengan Papah yang saat ini sedang berbincang bersama rekan lainnya. Sedangkan mamah—dia sudah berkumpul bersama  kumpulannya.

Jangan tanya soal bagaimana gue bisa berakhir disini, karna sejujurnya badan gue masih merasakan empuknya kasur dengan balutan selimut tebal kalau aja Papah nggak masuk kamar dengan tatapan nyalangnya—dikarenakan informasi yang dia dapat dari Mamah "Kayla nggak mau ikut."

Gue benci harus di libatkan dalam acara yang tidak gue mengerti sama sekali. Acara ini salah satunya—Upacara Parade Senja dan Gala Dinner, di Kementrian Pertahanan. Gue bahkan nggak tau apa itu parade senja kalau aja Papah nggak menjelaskan secara terperinci soal kehidupan TNI dan sebagainya.

Kalau yang kalian bayangkan acara ini adalah sebuah gala dinner meriah dengan gelak tawa formal juga senyum menawan, maka kalian salah. Walau nggak sepenuhnya salah karena memang acara ini formal yang di isi petinggi-petinggi negara dalam kalangan TNI, tapi bukan 'pesta' seperti yang kalian bayangkan, karena wajah orang-orang disini lebih ke-mode 'senggol bacok' semacam Bokap gue. Membuat gala dinner jadi nampak suram.

Mata gue masih sesekali menatap Bianthara. Dari seluruh garis keturunan Bianthara, harus dia yah?

"Kayla mau keluar," ucap gue asal.

"Mau kemana?"

"Mau keluar aja." selanjutnya gue nggak berani meminta keluar karna tatapan Papah sudah berbicara—lagi—untuk kedua kalinya. Heran punya Bokap kok galak banget.

Dari sini gue bisa melihat, Bianthara sedang bergabung dalam pembicaraan dengan rekan Eyangnya. Pak Adipramana atau yang sering Ares sebut 'Eyang kematian'— ex jendral TNI Angkatan Darat. Sosoknya begitu di kagumi khususnya pada acara seperti ini.

Terlihat sebelah tangan yang dimasukan ke dalam saku celana, juga gelas yang berada di genggamannya.

Ajarin gue caranya berhenti natap Bianthara kalau tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu, juga rambut yang gue yakin di cukur 2 minggu sekali—alias rapih banget! Bikin gue pengen melihat ke arah dia terus.

Dari jauh gue masih bisa mengenali Bianthara dengan jelas, walau gue tidak tau dengan sebaliknya.

Ketakutan gue menjadi ketika Papah menyudahi pembicaraan bersama Pak Wahyono— "Siap Pak, akan saya konfirmasikan langsung setelahnya."

Papah mulai berjalan ke arah seseorang yang paling gue hindari untuk bertemu.

How should I act?

Setiap langkah gue cuma dihiasi pikiran 'Harus berbuat seperti apa di depan Bianthara'

Begitu sampai di hadapan Pak Pramana, Papah memberi hormat dengan posisi badan tegap kepada seorang pria tua dengan balutan tuxedo putih dengan banyaknya brevet juga tanda kehormatan bintang yang tertempel dalam tuxedo tersebut, juga tongkat yang berada di tangan kanannya.

Menjadi seseorang yang berada dalam dunia kemiliteran membuat gue terbiasa dengan hal-hal semacam itu—kedisiplinan, keras dan tahan uji. Pernah ketika Papah mendapati bawahannya yang melanggar kode etik ringan seorang TNI, membuat Papah harus memberi hukuman padanya di kala kita yang sedang berlibur keluarga. Gue ulangi LIBUR KELUARGA.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Reasons To Stop In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang