2

2.1K 76 6
                                    

Anjanie tak tahu, dimanakah keluarga penulisnya. Jurnal yang ditulis oleh seorang Profesor pada era itu seharusnya menjadi barang berharga dan bisa jadi menjadi situs literasi warisan dunia. Sama seperti yang dilakukan oleh Dr. Joseph Arnold dan Sir Thomas Stamford Raffles yang menemukan vegetasi Raflesia Arnoldi. Bisa jadi Prof. Herringard itu senama dengan Charles Darwin yang membahas Ilmu Klasifikasi dan Taksonomi.  Semua itu terngiang saja, tak ada yang tahu tentang Prof. Herringard. Dan kenapa jurnal semenarik itu berisi tentang makhluk-makhluk Mitologi yang seharusnya tak menjadi bidang studi seorang Profesor.

"Mungkin ia seorang dukun?" Anjanie menggumam sendiri seraya membuka kembali laptopnya yang sudah menyala karena terisi daya. Ia membuka sebuah E-Mail dari agennya yang berisi data pribadi seseorang. Data yang ia dapat dengan mengumpulkan foto-foto dari jaringan, baru bisa ia simpulkan bahwa itu adalah orang yang sama.

Ya, foto-foto tua yang sudah tersimpan di Laptop Anjanie menunjukan orang dengan wajah sama dari generasi ke generasi. Bahkan, Anjanie sudah memeriksa data penduduk dari tahun 1958. Tahun dimana Kartu Tanda Penduduk resmi diterbitkan oleh pemerintah Indonesia.

Sebelum ia membuka e-mailnya, tiba-tiba ponsel Anjanie berbunyi. Ternyata, pak Darsono menghubunginya.

"Halo, Anjanie." Sapa Pak Darsono mengabari.

"Ya, pak." Anjanie terheran, mengapa pak Darsono menghubunginya selarut ini. Apalagi nafas Pak Darsono terlihat berat seperti baru saja melihat hantu. "Ada apa?"

"Kamu sudah tiba di sana?" Ucap Pak Darsono.

"I—iya pak. Ada apa?"

"Ah,,, sayang sekali. Baru saja aku diteror lagi." Ungkap Pak Darsono dengan penuh semangat.

"Diteror oleh makhluk berjubah putih berambut panjang kayak kemarin. Apa bapak sempat merekamnya. Bisa kirim rekaman kamera tersembunyi yang sudah terpasang." Perhatian Anjanie teralihkan karena barusaja ia mendapatkan harta yang selama ini dicarinya. Ya,,, surat kabar elektronik tempat Anjanie bekerja sering membahas hal-hal mistis. Sehingga tak pelak, berita seperti ini akan mengangkat beritanya.

"Nah, itu. Tiba-tiba ada yang mematikan listrik. Lalu, mnnn,,, aku lupa cara menghidupkan kameranya." Ucapan Pak Darsono membuat Anjanie duduk lunglai dan menepuk jidatnya.

"Ya tinggal pencet tombol merah aja pak." Anjanie sedikit kesal, namun ia sadar bahwa Pak Darsono kurang familiar dengan alat-alat jaman sekarang.

"Ya, namanya mati lampu. Semua tombolnya jadi hitam." Pak Darsono berkelit, tapi masuk akal juga.

"Mnnnn,,, sosoknya seperti apa pak?" Tanya Anjanie penasaran.

"Mnnn,,, seperti,,, ya kayak kuntilanak biasalah. Cuma aku melihat wajahnya cantik. Bukan seperti hantu yang rusak parah." Pak Darsono memang seorang kolektor barang antik dan mistis. Bahkan ia mempunyai puluhan koleksi Jenglot, entah asli atau tidak. Namun, anehnya, setelah ia memberikan buku Jurnal itu ke Anjanie. Intensitas gangguannya lebih sering, terutama dari mahluk serupa kuntilanak.

"Cantik,,,?" gumam Anjanie penasaran. Anjanie pernah tidur sendirian semalam suntuk di rumah pak Darsono. Namun tak ada gangguan apapun. Hanya nyamuk saja yang mengganggu. Ia sendiri juga tak pernah mengalami hal-hal menyeramkan sebelumnya. Karena itulah, Anjanie selalu penasaran dan berani mengupas kisah-kisah misteri yang ada di sekitarnya.

"Ya, cantik. Kayak Wong Londo, tapi rambutnya hitam panjang. Bahkan jika ia hidup di dunia, ia sudah jadi artis terkenal." Gurau Pak Darsono.

(Wong Londo : Orang Belanda)

"Matanya merah nggak pak? Terus dia terbangnya seperti apa?" Tanya Anjanie penasaran.

"Mnnn,,, nggak! Matanya coklat seperti kamu. Hahahaha,,, eh jangan-jangan kamu mau nakut-nakutin bapak." Ungkap Pak Darsono yang tidak menunjukan rasa ketakutan.

"Ah, bapak bisa aja." Celetuk Anjanie.

"Dia terbang di halaman belakang saat aku mau membuang sajen. Pertama aku perhatikan aja. Lalu ilang saat aku masuk." Cerita pak Darsono. "Terus aku bikin kopi di dapur. Tiba-tiba listrik mati. Nah di Deket kulkas dapur itu ia melayang."

"Terus-terus." Anjanie penasaran.

"Aku berlari ke depan untuk mengambil kamera yang kau kasih." Ucap Pak Darsono. "Karena gelap, aku nggak lihat tombol untuk ngidupinnya. Pas aku kembali ke dapur, dia masih ada, namun samar. Namun ketika aku membawa kamera. Makhluk itu terbang lewat jendela belakangku. Sampai-sampai, jendela dapur itu terbuka sendiri. Duaarrr, gitu! Itulah bapak sedikit kaget!"

"Apa!?" Anjanie berdiri karena sebuah pemikiran yang membuatnya ragu. Jika yang ditemui pak Darsono adalah makhluk Astral, ia tak mungkin bisa menggerakkan jendela. "Pak, Jendela tadi, itu terbuka atau tertutup sebelumnya?"

"Mnnn,,, kalau sudah petang pasti aku menutupnya, takut banyak nyamuk. Namun aku belum menguncinya karena masih jam 8-an tadi." Ungkap Pak Darsono.

Mulut Anjanie melongo mendengar cerita pak Darsono. Ia memikirkan makhluk Astral seperti apa yang dapat menggerakan benda. Benda adalah fisik dan fisik hanya bisa digerakkan oleh fisik. Bahkan angin saja termasuk fisik. Jika Astral atau ghaib, berarti bukan fisik. Pikirannya kalut karena semua itu bertentangan dengan hukum Fisika. Anjanie mengusap wajahnya dan mungkin sebentar lagi ia harus tidur karena perjalanan esok akan lebih jauh. "Oh,,, oke pak. Nanti kutelpon lagi setelah pagi."

"Eh, Janie. Aku lupa suatu hal." Pak Darsono berkata.

"I—iya pak." Anjanie menunggu informasinya.

"Besok, temanku itu nggak bisa menjemputmu. Jadi dia tadi WA aku dan kasih nomor keponakannya agar menjemputmu di bandara." Jelas Pak Darsono. "Nah, sebentar lagi kukirim nomornya."

"Baik pak, terimakasih." Ucap Anjanie sembari menutup telponnya.

Anjanie kembali duduk di memangku laptopnya. "Aduhhh,,, kenapa harus mati listrik, sialan PLN!" Umpat Anjanie. Ia tak tahu bahwa semua itu hanyalah kebetulan, sebenarnya ada hal mistis yang tidak bisa dijelaskan secara kebetulan.

Anjanie kehilangan mood-nya untuk bekerja, namun sebelumnya ia memeriksa email dari agen rahasianya yang bekerja di Dinas kependudukan. Ia meretas data penduduk dengan deteksi wajah. Dan semua wajah itu sesuai dengan wajah yang ditunjukan Anjanie. Nama dan tanggal lahir, hingga tempat lahir dan alamatnya berbeda. Ada sekitar delapan nama yang dilihat Anjanie. Foto wanita itu terpampang dengan nomor seri kependudukan yang berbeda. Lalu Anjanie mulai membaca dan menelaahnya satu persatu.

Mata Anjanie menyipit menemukan sebuah nama yang jarang digunakan oleh orang pada saat itu. Tetapi ia ragu, Kartu Tanda Penduduk itu diterbitkan pada tahun 1959. Setahun setelah pendataan kependudukan. Fotonya juga sudah sangat usang, namun mata wanita itu tetap kelihatan. Mata yang jernih kecoklatan seperti dirinya. Bahkan foto wanita di dalam Kartu yang usang itu menunjukan bahwa empunya bukan sepenuhnya berdarah Indonesia. Anjanie juga berpikir bahwa banyak sekali penduduk berdarah Indo-Belanda saat dulu kala. Bahkan dia sendiri juga berdarah campuran seperti wanita itu.

Anjanie mengucek matanya yang sudah terlalu lelah. Ia berpikir bahwa darah campuran seperti dirinya adalah buah hasil perselingkuhan atau bahkan pemerkosa para penjajah kepada pribumi. Lalu ia terpikir keluarganya. Saat usianya menginjak tujuh belas, ia diberitahu Bunda-nya bahwa ia sebenarnya bukan anak kandungnya. Itu sebuah keharusan yang tertulis pada AKTA ADOPSI yang mengharuskan orang tua asuh memberitahu sebenarnya setelah anak adopsi beranjak dewasa. Saat itu hati Anjanie hancur, namun untung saja. Ayah, Bunda, dan ketiga kakaknya sangat menyayangi Anjanie seperti anak mereka sendiri. Terutama Bunda yang selalu khawatir dengan Anjanie yang terus-terusan bekerja dan mengesampingkan kualitas hidupnya.

Bunda pernah bertanya, apa yang membuatnya seperti itu? Kenapa tidak kerja dikantor saja, atau di rumah, menikah, punya anak dan berkunjung ke rumah bunda setiap akhir pekan—seperti yang dilakukan kakak-kakaknya. Bahkan beberapa orang sok pintar mengatakan bahwa, Bunda tak tahu dimana ari-ari Anjanie dikuburkan, sehingga menurut kepercayaan. Anjanie sedang mencari ari-arinya.

(Ari-ari = Plasenta yang dikeluar dari dalam rahim ibu ketika melahirkan, biasanya dikubur depan rumah dan dijaga selama empat puluh hari)

"Ini,,, mnnn,,," Gumam Anjanie, "nama ini?"

Mendadak bibir Anjanie bergetar ketika melihat sebuah data kependudukan.

Bibirnya menggumam pelan,

"Melanie Arthaprawirya Aryawangsa."

Saklawase II : Orang-orang yang hidup selamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang