10

1.4K 45 1
                                    

"Mas!" Panggil Anjanie yang baru turun dari truk. "Sudah sampai ya, kok nggak bangunin aku."

"Eh, dia bangun. Udah dulu ya, muaaahh!" bisik Ahras cepat sembari menutup telpon.

"Belum mbak, katanya mau kopi. Itu warungnya." Tunjuk Ahras yang menunjuk sebuah warung kecil yang mungkin menjual makanan kecil dan minuman hangat.

Setelah memesan, Ahras menyarankan Anjanie untuk mengganti celananya. "Neng, kalau mandi sekalian nggak papa? Mumpung airnya lagi hidup?" Ucap Ibu penjual dengan ramahnya.

"Eh, boleh bu? Apa nggak ngrepotin." Ucap Anjanie merasa tak enak.

"Nggak apa, pakai aja. Sudah biasa kok para supir mandi disini." Tawar ibu itu. "Perjalanan masih jauhkan? Emang mau kemana?"

"Mau ke kebunnya pak Syarif." Jawab Anjanie begitu saja.

"Kebunnya pak Syarif?" Ibu itu baru dengar nama Pak Syarif.

Ahras lalu menimpali, "Pak Udin bu, Syarifuddin." Ia cukup lega karena tak ada kebun milik pak Syarif disana.

"Oh,,, kebun pak Udin. Eh, ngapain mau kesana lagi. Bukannya kasusnya sudah selesei." Ucap Ibu itu.

"Kasus apa bu?" Anjanie merapikan kembali kain di bagian bawahnya.

"Kebun Pak Udin, eh pak Syarifuddin itu angker. Kemarin ada pemburu yang diterkam binatang jejadian." Ibu itu berbicara ngelantur. Ahras mencoba mendengarkan dengan sesekali menyesap kopi dan menghisap rokok.

"Bi—binatang jadi-jadian. Maksud ibu, kayak siluman gitu!?" Tanya Anjanie penasaran.

"Iya, kata rumor yang beredar. Polisi saja sulit menentukan penyebab kematiannya. Kalau dibunuh manusia, cengkeraman tangannya nggak mungkin sebesar itu. Tapi jika dibunuh binatang. Binatang buas mana disini yang bisa membunuh manusia kecuali ular berbisa." Ungkap Ibu penjual Kopi dengan nada menyeramkan.

"Terus-terus," tambah Anjanie tambah penasaran.

"Kami sekarang jadi takut keluar malam? Bahkan pekerja jam 3 sore sudah harus pulang ke Shelter. Biasanya jam 5/6 sore baru boleh pulang. Pada ngeri semua deh akhir-akhir ini." Ungkap Ibu yang semakin membuat Ahras kesal.

"Bu, bikinin popmie donk!" Ahras memotong.

"Tunggu ya, rebus air dulu!" Jawab ibu itu, tapi dalam sekejap ia kembali ke Anjanie.

"Ibu pernah denger ndak tentang makhluk jadi-jadian bernama Kuyan?" Tanya Anjanie kesal.

"Ssstttt! Jangan sebut nama itu?" Ibu penjual itu memperingatkan.

"Bu, cepet dikit donk! Lapar!" Ahras kembali mengganggu pembicaraan mereka.

"Iya nak, tunggu sebentar." Balas ibu itu. Lalu lagi-lagi ibu itu lebih tertarik dengan cerita horor daripada uang. "Katanya, setiap tengah purnama ada yang terbang di pepohonan. Nah, terkadang muncul di perkampungan warga. Apalagi saat ada yang baru hamil. Mereka semua takut dengan sosok kehadirannya."

"Benerkan, Kuyan itu mengancam dan berbahaya. Kalau Genderuwo, tidak? Dia hanya suka memperkosa wanita yang ditinggal istrinya." Anjanie mengalihkan pembicaraan dengan Ahras.

"Mmnnn,,,!" Belum sempat Ahras menjawab. Ibu itu menyahut.

"Eh, apaan nggak bahaya neng. Di kebun pak Udin itu. Katanya pemburu itu dibunuh sama Genderuwo. Itulah kenapa ada banyak bekas cakaran di tubuhnya. Sedangkan hewan-hewan disini tak ada yang punya cakar sebesar itu."

"Ta—tapi kok berita itu tak sampai di media?" Tanya Anjanie keheranan. "Apa nggak ada wartawan yang meliput?"

"Pak Kades nyuruh diam neng. Pak Polisi juga suruh diam. Mereka semua sepakat bahwa pemburu itu diterkam binatang buas, gitu aja." Ucap Ibu itu. "Katanya kalau di terkam makhluk lain, malah jadi viral dan mengancam jabatan mereka. Soalnya pelakunya masih abu-abu. Lagipula, mereka melakukan tindakan ilegal dengan menembak burung Enggang yang dijual ke pasar gelap. Sehingga jika kasusnya dibuka, bisa lebih panjang lagi."

"Oh, ya-ya. Aku mengerti." Ungkap Anjanie mengiyakan.

Kebun sawit sudah berlalu dan digantikan hutan hujan yang masih perawan. Sekeliling yang terlihat hanyalah pohon-pohon ulin berukuran raksasa disertai dengan juntaian akar pohon beringin di tepi jalan. Truk yang ditumpangi Ahras dan Anjanie melaju pelan di jalanan yang terjal.

Anjanie cukup tertantang kali ini. Ia kesulitan menulis di catatan kecil mengenai wawancara singkat tadi. Truk beberapa kali terguncang dan oleh kesana kemari. Mesinnya meraung tanpa henti menantang lebatnya hutan.

Setelah numpang mandi tadi. Ibu itu berpesan bahwa gantungin baju pria yang belum dicuci di jendela agar genderuwo nggak masuk. Selain membunuh, genderuwo lebih seneng memperkosanya wanita, apalagi secantik Anjanie. Perkataan itu membuat Ahras tersedak.

"Masih lama ya?" Tanya Anjanie seraya menilik jam ditangannya. Waktu sudah berada disiang hari.

"Sebentar lagi, sampai." Ungkap Ahras menyemangati Anjanie. Mobil truk Ahras memasuki jalanan yang cukup bagus karena disusun dengan batuan yang rapi. "Eh, mbak. Ini posisi pak Syarif itu lagi pergi. Jadi mbak boleh kok tinggal disini."

"Lho, jadi gimana donk. Masa' aku tinggal sendirian di rumah orang." Ungkap Anjanie.

"Ya, nggak apa mbak. Aku juga tinggal disini. Tapi di rumah bagian belakang." Mobil Ahras memasuki halaman rumah yang cukup besar dan mewah. Tetapi posisinya ditengah hutan membuat siapapun keheranan. Setelah sampai, "Yuk, turun."

Ahras membuka pintu rumah yang terkunci sebelumnya. "Ini rumah pak Syarif," Anjanie terkagum karena ada rumah sebesar ini di tengah hutan seperti ini.

"Mnnn,,, iya mbak." Gumam Ahras bersandiwara. Ia lalu membuka pintu dan menghidupkan lampu. Tak disangka, rumah itu begitu megah di dalam. Banyak hiasan-hiasan marmer yang terletak rapi di meja. Belum lagi, wajah ceria Anjanie masih terkagum dengan taman di tengah rumah yang membuat sebuah taman air sederhana. Disitu terdapat puluhan ikan koi lapar ketika dan mendekat ketika ada seseorang mendekat.

"Bisa tolong beri makan ikannya?" Pintanya sembari mengangkat koper Anjanie.

Anjanie melihat sebuah karung berisi makanan ikan. Lalu ia menaburnya. Seketika ikan-ikan itu melompat menikmati santapannya. "Pak Syarif suka pelihara ikan ya?" Gumam Anjanie.

"Mnnn,,, ohhh,,, itu,,, itu punya anaknya. Pak Syarif terlalu sibuk dengan kegiatannya." Ungkap Ahras berpura-pura.

"Oh, ya. Eh aku mau telpon pak Syarif dulu." Anjanie mencoba meraih smartphone di celananya.

"Eh, dia lagi keluar negeri mbak. Ke Malaysia, jadi sinyalnya beda." Ucap Ahras.

"Oh, gitu ya." Anjanie menutup telponnya lagi.

"Mbak, bisa istirahat di kamar dulu. Kalau mau?" Ungkap Ahras mengantarkan Anjanie ke tempat tidur Anjanie.

Setelah itu, Anjanie terduduk sebentar di ranjang. Suasana sore yang tenang membuatnya lebih tenang dalam mengerjakan pekerjaannya. Ia sendiri juga tak mengerti, kenapa rumah sebagus dan seindah ini ditinggalkan begitu saja. Tanpa ada penjaga dan anehnya tak ada yang hilang.

Malam itu, Anjanie terfokus dengan artikelnya. Sungguh bodoh, disini tak ada internet. Sehingga Anjanie hanya dapat menulis artikel seadanya, lalu menulis sumber-sumbernya dan ditulis nanti ketika sudah di kantornya. Angin di luar jendelanya berhembus kencang seperti mau hujan. Sesaat Anjanie menatap keluar dan membuka jendela itu. Semilir angin meniup rambutnya dan kesegaran tubuhnya kembali bergulir.

Anjanie tak sadar, bahwa dari kejauhan terdapat burung gagak yang mengintai. Paruhnya yang tajam bisa saja mengoyak mata Anjanie yang berwarna coklat.

Kuaaaakkk! Burung gagak itu terbang mengikuti arah angin. Burung itu terbang menukik menuju Anjanie yang masih dengan santainya menikmati hembusan angin.

Lalu,,,

Kreseeeekkkk! Anjanie terkejut ketika mendengar sesuatu terjatuh. Entah apa itu, Anjanie tak memahaminya. Lalu ia kembali menutup jendela dan horden untuk beristirahat.

Saklawase II : Orang-orang yang hidup selamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang