14

8.4K 569 5
                                    

"Swiss?"

Kaynara mengangguk yakin. "Cuma 2 minggu kok."

"Cuma? Itu lama, Kay."

"Lama apanya? Sebentar itu mah."

"Buat gue lama. Ngga usah pergi lah, Kay. Entar gue sama siapa kalo lo pergi?"

"Dih, alay! Biasanya juga sendiri."

"Itukan pas ngga ada lo, sekarang mah enggak."

"Lagian biasanya ada Evelyn kan yang nemenin lo?"

Revan yang sedang menyetir, menoleh sejenak sebelum kembali fokus. "Apa sih? Jadi bawa-bawa dia."

"Dulu aja heboh banget minta dijodohin."

"Gue lagi ngga mau berdebat, Kay."

"Loh siapa yang ngajak berdebat? Kan emang bener dulu begitu. Sampe ngedeketin, ngebaikin gue terus."

Revan tak menanggapi dan kebetulan sekali mereka sampai di rumah Kaynara. Mereka masih berdiam diri. Kaynara tahu kalau Revan sedang marah padanya. Wajah sahabatnya itu cuek sekali. Biasanya ia akan menjahilinya dulu, tapi sekarang dia fokus pada ponselnya. Merasa diperhatikan, Revan menoleh.

"Kenapa ngga turun?"

"Ngusir?"

"Udah malem. Besok harus kerja." Revan berbicara dengan nada sangat lembut.

"Marah ya sama gue?"

Revan menggeleng pelan. "Enggak."

"Besok jemput gue lagi ngga?"

"Ngga tau. Kayanya besok ada jadwal terbang ke Surabaya."

"Berapa lama?"

"2 hari doang."

"Oh, yaudah."

"Hm.. masuk gih. Gue juga mau pulang."

"Lo ngga suka ya kalo gue bahas Evelyn?" Lagi-lagi Kaynara tidak menggubris omongan Revan.

Lelaki itu mendengus. "Bukan ngga suka. Cuman kurang nyaman kalo ngebahas dia pas lagi berdua begini. Ngungkit masa lalu lagi."

"Tapi kan emang bener dan kenyataan. Wajar dong kalo lo suka sama dia. Udah cantik, pinter, baik pula."

"Kay. Lo tuh ngga anggap gue ya?"

Kening Kaynara mengkerut bingung. "Maksudnya?"

"Kok balik nanya? Yaudah deh. Capek gue ngomong sama orang yang ngga peka."

"Ih, apa sih, Van?"

"Mobil gue tinggal disini aja. Besok sebelum kerja gue ambil. Jadi kalo lo masih mau disini, sila--"

"Gue keluar!"

Kaynara segera turun dan membanting pintu mobil Revan dengan keras, hingga sang empunya tersentak.

"Gila. Dasar cewek ya. Ngga bisa pelan-pelan nutup pintu mobil. Maaf ya, Molly. Kaynara emang gitu," kata Revan sembari mengusap dashboard mobilnya.

Dua hari berselang. Keduanya tak berkomunikasi sama sekali. Perasaan rindu jelas saja mengoyakkan hati. Ingin mengirim pesan, mereka saling adu gengsi. Apalagi Kaynara yang berusaha bersikap biasa saja. Padahal hatinya panas sekali menahan rindu.

Malam ini, kebetulan Kaynara bekerja hingga larut. Maklum besok ia akan pergi ke Swiss jadi harus menyiapkan segala keperluan kantornya. Gadis bersepatu hak tinggi dengan rok selutut juga baju kemeja biru lautnya itu berjalan menuju lobby sambil sesekali memijat tengkuknya yang terasa pegal. Ketika ia membuka mata, seorang pria yang sudah menunggunya dari tadi, tersenyum.

"Revan? Kok disini?"

Tak menjawab, lelaki itu membukakan pintu mobil dan menyilahkan sang gadis untuk masuk.

Ah, Kaynara rindu harum mobil ini yang khas. Ia tahu kalau pengharumnya bukan sembarangan. Ia tak pernah mencium wangi seperti ini sebelumnya. Ia juga yakin Revan mengcustom sendiri karena ada nama 'Captain Revan' disitu. Revan memang nomor satu jika itu untuk masalah wewangian. Semua sudah hapal wangi parfum Revan meskipun dia belum terlihat.

"Kangen ngga sama gue?" tanya Revan memecah keheningan.

"Biasa aja," jawab Kaynara gengsi.

"Wah, padahal gue kangen banget sama lo. Pesawat hampir aja jatoh karena gue kepikiran lo terus."

"Revan, mulutnya!"

Revan terkekeh. "Bercanda," katanya mengacak rambut Kaynara.

"Udah ngga marah?"

"Marah? Siapa yang marah?"

"Ya elo lah. Waktu itu ngusir gue gitu aja."

"Bukan ngusir. Udah malem dan gue ngga suka pembahasannya aja."

"Terus kenapa ngga chat gue?"

"Tuhkan kangen kan.. kenapa ngga jujur aja coba?"

"Dih. Enggak ya. Jangan kepedean."

"Kalo udah terbang, gue jarang pegang handphone. Males juga. Tapi kalo sekarang kan ada lo nih. Jadi gue lagi belajar buat selalu ngabarin lo kemanapun gue pergi."

"Halah. Gombal doang."

"Ih, tau-tauan gombal lo. Kaya pernah digombalin aja," kata Revan sembari mencubit pipi Kaynara.

"Sakitttt!!" pekik Kaynara seraya mengusap pipinya.

"Capek banget ya hari ini?" tanya Revan. Tangan kirinya membelai rambut coklat yang dibiarkan memanjang sampai ke bahunya oleh Kaynara.

Gadis itu mengangguk manja. "Kalo mau dinas, emang kaya gini."

"Semangat ya. Nanti kalo udah nikah, lo ngga usah kerja. Fokus urus suami dan anak aja," kata Revan. Kini tangannya memegang tangan Kaynara.

"Tolong ya. Kita bukan muhrim."

"Makanya nikah sama gue. Biar jadi muhrim."

"Revaann!! Stop!! Gue geli!!!" Kaynara menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.

"Ye.. diajak nikah malah tutup kuping. Dasar Kaynara gendut."

"Gue udah ngga gendut!"

"Iya deh. Kalo gitu Kaynara cantik," katanya seraya tersenyum.

"Hiyy." Kaynara bergidik ngeri. "Eh ngomong-ngomong sering ketemu Novi?"

"Jarang. Paling kalo ada reuni doang. Itupun bisa dihitung jari," jawabnya. "Kenapa? Kangen ya sama dia?"

"Iyalah. Dia temen baik gue yang mau temenan sama cewek cupu nan gendut kaya gue dulu."

"Emangnya gue enggak?"

"Ck! Maksudnya temen cewek," katanya. "Kita bikin acara reunian yuk?"

Dengan tegas Revan menggeleng. "Nggak!"

"Ih, kenapa?"

"Nanti lo ketemu Rafly dan suka lagi sama dia. Oh, no. Thank u."

"Yeee.. kenapa lo? Cemburu?"

"Iyalah. Pake nanya lagi."

"Ih... Revan serius kenapa sih..."

"Gue juga serius. Ngga mau. Kecuali ada satu syarat."

"Apa?"

"Di acara reunian itu, gue mau sekalian bikin acara pertunangan kita."

Si Gendut dan Si CasanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang