Hari masih pagi, bahkan kucing-kucingnya saja belum bangun dan merusuh, tapi Mafumafu sudah dibuat syok setengah mati oleh tingkah laku kekasihnya.
"Selamat pagi, Mafudon~" sapanya.
Senyuman yang dipakai memang semanis gula, namun entah kenapa atmosfer disekitarnya terlihat begitu gelap.
Jangan tanya bagaimana Mafu bisa melihat warna atmosfer disekitarnya, itu karena Mafumafu sebenarnya adalah seorang malaikat-
Baik, baik, kita cukupkan dulu chuuni-nya sampai sini.
Ada hal yang lebih penting dari itu sekarang, yang nampaknya menyangkut hidup dan matinya Mafu!
Iya, Mafu tidak bercanda soal hidup dan matinya.
Sebab tidak ada angin, tidak ada hujan, apalagi badai, Sakata duduk diatas tubuhnya dengan senyuman manis dan sebilah pisau dapur besar digenggaman.
Mafumafu merasa berada pada adegan menjurus dewasa, tapi malangnya kearah yang lain.
Kanapa....
Kenapa harus ada pisau dapur diantara mereka?!
"Hm?"
Melihat Mafu yang tenggelam dalam pikirannya, kepala merah itu meneleng dengan lucunya.
Imut sekali, hati Mafu tidak kuat melihatnya. Niat hati ingin menariknya dalam pelukan setelah itu menghujaninya dengan ciuman, tapi Mafu batalkan takut ia yang akan dihujani tusukan.
Mengerikan juga setelah dipikirkan.
"Kenapa kau diam saja Mafudon?" Tanya Sakata. Rautnya jelas menampakan kebingungan.
Sakata sayang, harusnya Mafu yang saat ini dilanda kebingungan!
Mafumafu masih melongo dengan wajah bodoh. Nyawanya bahkan belum terkumpul 100 persen loh!
Serius, sebenarnya... apa yang sedang terjadi disini?!
"Anu, Sakatan...?" Panggilnya canggung.
"Ya?"
"Kenapa kau duduk diatas tubuhku dengan sebilah pisau digenggamanmu?" Tanya Mafu.
Sakata melirik pisau digenggamannya, lalu kembali melirik Mafu yang keringat dingin dibawahnya.
Senyumnya mengembang.
Apa ini? Kok seram?
Mafu meneguk ludah gugup.
"Ah, soal itu, Mafudon aku ingin menanyakan sesuatu." Mengacungkan sehelai kemeja yang entah muncul darimana, Sakata masih memasang senyum sembari menunjuk noda merah dibagian dada kemejanya.
"Noda apa ini, Mafudon?"
Dilihat bagaimanapun, itu jelas sekali noda lipstik. Tanpa perlu melihat dua kalipun Mafu tahu kalau itu noda lipstik.
Tunggu, noda lipstik?!
Mafu ingin menepuk dahi rasanya.
Sedikit demi sedikit, Mafumafu mulai memahami keadaan saat ini.
Noda itu... Sakata pasti salah paham pada noda lipstik dipakaiannya!
"Tergantung jawabanmu, aku akan memutuskan apa aku perlu menggunakan pisau ini atau tidak." Tawanya.
Memang benar perkataan orang jaman dulu kalau sepasang kekasih itu bagai pinang dibelah dua. Mafu sadar diri dia gila, dan nyatanya Sakata malah lebih gila darinya.
Menelan ludah lagi, Mafu memasang senyum terbaik yang ia bisa dan mulai menjelaskan.
"Sakatan sayang, jadi begini... semua itu hanya salah paham. Oke, tenang dulu dan dengarkan aku sampai selesai ya. Turunkan dulu pisaunya. Itu berbahaya." Gumam Mafu, "Ekhm, jadi kemarin aku bertemu Soraru-san untuk membahas urusan pekerjaan, dan dijalan ada seorang wanita mabuk yang tanpa sengaja menabrakku. Ja-jadi.... mungkin saat itu lipstiknya mengenai kemejaku. Aku mabuk juga jadi aku tidak menyadarinya. Maafkan aku. Aku tidak selingkuh, oke? Aku hanya mencintaimu...! Serius!"
Ada hening mencekam disana.
"Darimana aku bisa tahu kalau kau tidak berbohong, Mafudon?"
Pisau dapur diacungkan lagi didekat leher si albino, dan Mafu hampir saja kelepasan meneriakan highnote karenanya.
"Aku tidak bohong, Sakatan! Ah! A-aku bisa menelfon Soraru-san untuk membuktikannya! Dia ada disana melihat kejadian itu! Dia akan jadi saksinya! Ayo, kita telfon dia sekarang juga! Ya, sayang?!"
Sakata menatap Mafu yang panik cukup lama, sebelum ia tersenyum dan turun dari posisinya yang sejak tadi menduduki tubuh Mafu.
"Baiklah, aku percaya padamu Mafudon. Maafkan aku karena sudah salah paham ya, hehe!" Tawa Sakata.
Pisau dapur tadi lenyap entah kemana, dan Mafu tidak ingin bertanya takut disabet tiba-tiba.
"Aku sudah lega sekarang." Sakata mengangguk puas.
Mafu menghela nafas lega, lantas beralih posisi jadi duduk diatas ranjang.
"Tidak, ini salahku yang mabuk dan tidak menyadari perihal noda itu sampai membuatmu salah paham." Tawa Mafu.
"Yah, untung saja ini cuma salah paham ya. Soalnya kalau kau betulan selingkuh aku tadi berniat memburu selingkuhanmu lalu setelah itu memotong 'adik'-mu agar kau tidak bisa menyelingkuhiku lagi. Syukurlah aku tidak perlu melakukan itu ya!"
Sakata, tolong jangan pakai background berbunga-bunga saat membicarakan hal-hal keji begitu, rasanya Mafu bisa trauma melihatnya.
"Ah... Iya..."
"Kalau begitu aku akan melanjutkan kegiatan mencuci pakaianku yang tertunda tadi. Mafudon, sarapan sudah siap jadi setelah mandi kau makan saja ya." Katanya dengan manis.
Mafu mengangguk saja.
"Un."
Setelahnya, Sakata berlalu pergi dari sana dengan pisau dan kemeja bernoda lipstik digenggamannya (yang lagi-lagi muncul entah dari mana) sambil bersenandung riang.
"Haaaaaa..."
Dikamar, Mafu memegang dahinya sambil menatap pintu yang tertutup dengan tatapan lelah.
"Astaga, sepertinya aku sudah membangkitkan jiwa natural psychopath-nya, Sakatan. Bahaya, aku harus hati-hati lain kali kalau tidak ingin adikku dipangkas oleh Sakatan..."
.
A/N: Halo, saya masih hidup hehe. Mampir cuma buat up cerita lama yang udah berdebu. Saya sibuk di RL dan hilang mood ngapa-ngapain karena satu dan lain hal. Maafkan ya. Request fic yang sepertinya sudah dilupakan sebenarnya beberapa sudah setengah jadi, tapi niatnya nggak ada jadi gak bisa lanjut. Semoga bisa selesai semua deh. Sekian. Semoga menghibur^^ Have a nice day, yall!
KAMU SEDANG MEMBACA
Utaite Oneshots
FanfictionHanya cerita-cerita random untuk menyalurkan imajinasi. . . Warning: - BL/Shounen-ai - Semua yang ada di buku ini hanyalah fiksi yang idenya berasal dari otak author Cover: Picrew Edit: PicsArt