Dua

5.5K 365 9
                                    

🧡 Happy Sunday, gaissss

.
.

Sepertinya sudah tengah malam. Tapi kenapa ada yang mengetuk jendela? Buru-buru aku duduk dan menatap jendela yang tertutup rapat.

"Na, buka pintunya."

Tunggu, itu Dirga, kan?

"Buka pintunya."

Segera aku turun dari kasur dan mengikat rambut dengan asal. Sedikit menyingkap gorden dan ternyata benar, itu adalah Dirga. Wajahnya yang terkena sorot lampu samping dan berada tepat di depan jendela. Persis om pocong. "Buka, cepetan," ucapnya kemudian menjauh.

Langsung saja aku berjalan cepat menuju pintu depan dan membukanya.

"Kan udah dibilangin, kuncinya jangan lupa dicabut. Aku udah dua jam nunggu di luar, ketuk-ketuk pintu, udah telepon kamu juga."

Aku meringis, sedikit menjauh karena Dirga memasukkan motornya ke ruang tamu. "Lupa."

"Masa gitu aja lupa, sih, Na? Udah sering aku ingetin kamu, kuncinya jangan lupa dicabut, biar aku bisa buka pintu dari luar."

"Mau mandi?"

"Gila kamu, jam setengah satu nawarin mandi. Memangnya shower udah kamu benerin?" ucapnya sarkas. Dirga melepas jaket dan sepatunya, lalu ditaruh di tempatnya masing-masing.

"A-aku rebusin air?"

"Lama." Dirga melangkah ke belakang, sedangkan aku langsung mengunci pintu depan dan kembali ke kamar. Pantas Dirga marah, pasti dia lelah karena baru pulang, ingin langsung tidur malah tidak bisa membuka kunci dari luar. Kemungkinan Ayah yang terakhir mengunci pintu dan tidak tau kebiasaan kami.

"Ini baju gantinya," ucapku saat Dirga masuk kamar hanya dengan handuk. "Kamu mandi air dingin?"

Tidak dijawab. Usai berpakaian, Dirga langsung naik ke kasur dan masuk selimut. Tak bersuara lagi setelahnya.

Aku mengambil handuknya tadi dan membawa ke belakang, setelahnya bergabung bersama Dirga yang sepertinya sudah pulas.

Benar kata Ayah, Dirga perlu satu hari libur untuk istirahat. Tapi apa mau Dirga merelakan satu harinya untuk bersantai-santai di rumah? Dia sudah bekerja sebagai konten kreator sejak awal kuliah, pasti sudah sangat suka dengan kegiatannya itu. Tapi, Dirga juga tidak mungkin mau merelakan hari Sabtu atau Minggunya. Akhir pekan banyak wisatawan asing ataupun lokal yang melepas penat.

Besok coba aku tawarkan.

Esok harinya, aku baru keluar kamar jam setengah enam. Usai mandi, berpapasan dengan Ayah yang sepertinya baru selesai menyetrika kemeja. "Baru bangun jam segini kamu? Setiap hari kayak gini?"

"Enggak kok, Yah," elakku. "Tadi bangun sebelum Subuh, tapi habis subuhan—"

"Tidur lagi?" Ayah memicingkan matanya. "Kamu juga lagi hamil, jangan malas gerak, jangan bangun kesiangan."

Aku menggeleng. "Bukan, tadi Dirga minta dilayani, makanya aku baru keluar kamar."

"Semalam pulang jam berapa dia? Kok Ayah enggak dengar."

Ya kan kamar Ayah di belakang, tidak mungkin juga Dirga mengetuk jendela kamar yang lebih sering kosong itu. "Jam ... sebelas."

Bahaya jika Ayah tau kalau Dirga baru masuk rumah jam setengah satu.

Setelah Ayah masuk ke kamar mandi, segera aku menyiapkan sarapan. Dua laki-laki di rumah ini juga sedang duduk di meja makan. Tadi saat Ayah mandi, aku memberitahu Dirga jika ada Ayah sedang menginap. Dirga yang tadinya berniat tidur lagi sampai jam delapan, langsung bangun dan mandi begitu Ayah selesai.

Teras RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang