Empat belas

3.1K 204 10
                                    

Gak apa-apa, deh, kalau targetnya belum terpenuhi. Yang penting update terosssssss, wk-wk.

.
.
.

Arsya tidur lebih awal karena hawa dingin yang dia rasakan. Aku memilih untuk duduk di teras samping, menikmati semangkuk mie rebus. Mumpung Ayah tidak di rumah, jadi bisa leluasa makan mie instan. Dirga juga sudah tidur sejak tadi, malah dia tidur lebih dulu sebelum Arsya.

Sekarang masih jam sepuluh, rasanya sepi sekali. Bahkan pikiranku ikut sepi, sampai-sampai aku malah dibuat ingat dengan Reno.

"Hei, kamu lagi banyak pikiran ya?"

Aku menoleh dan langsung dicium oleh Dirga. "Enggak kok."

"Beneran?"

"Iya, lagi menikmati suasana aja." Aku tersenyum saat Dirga memeluk leherku dari belakang. "Kok bangun?"

"Haus banget tadi, pas bangun kamunya gak ada. Kirain di kamar Arsya, ternyata di sini."

"Tidur lagi sana, apa mau makan?" tawarku, mengusap lengan Dirga.

"Makan mie kamu aja, masih ada banyak." Dirga ikut duduk dan mengambil mangkukku. Aku hanya makan beberapa suapan tadi.

"Na, boleh cerita gak?"

Aku mengangguk dan tertawa pelan. "Biasanya juga langsung cerita, enggak bilang dulu."

Dirga menghela napasnya, kemudian menatapku. "Aku ngerasa kamu berubah, Na. Aku baru sadar hari ini tadi. Apa ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu?"

Seketika aku terdiam.

"Kamu dari tadi ditanya, jawabnya lagi gak kenapa-kenapa. Tapi sikapmu beda dari jawaban. Aku ada salah ya, Na? Bilang aja salahku dimana, biar aku benerin."

Aku menunduk, menatap lantai yang basah karena tampias hujan. "Kamu gak salah apapun, Ga. Di sini aku yang salah."

Tidak ada sahutan dari Dirga.

"Aku ... salah karena mikirin laki-laki lain, padahal aku udah punya kamu. Maaf, aku sempat bandingin kamu sama orang lain dan menganggap orang itu lebih baik daripada kamu."

Aku menoleh dan mendapati Dirga menatapku dengan tatapan kecewa yang sangat jelas. "Apa kamu kepikiran kalau dia lebih pantas di posisi ini daripada aku, Na?" tanya Dirga pelan.

"Jujur, iya."

Tidak ada sahutan lagi dan Dirga masih terus menatapku. Kemudian dia tersenyum. "Makasih udah cerita dan makasih udah jujur."

Setelahnya hening. Aku sibuk menatap hujan dan Dirga melanjutkan makan.

"Ayo masuk, udah malam," ajak Dirga.

Sebelum ke kamar, aku lebih dulu menghampiri Arsya di kamarnya sendiri. Anak itu tidur dengan pulas, dot susu di dekat bantalnya juga masih penuh. Sudah dua mingguan ini Arsya tidur sendiri, Ayah mengaktifkan mikrofon agar aku bisa mendengar suara tangisannya melalui speaker yang ada di dekat kasurku.

Saat masuk kamar, aku mendapati Dirga sudah masuk ke dalam selimut. Sepertinya sudah tidur. Karena tidak ada yang ingin kulakukan lagi, akhirnya aku ikut berbaring di kasur. Tidak langsung tidur, tapi aku malah menatap langit-langit kamar.

Dulu ini kamarku sendiri. Tempat paling privasi. Bahkan Ayah tak boleh masuk tanpa izin. Teman-temanku yang sedang main ke rumah tidak pernah aku ajak masuk kamar. Foto selfi di kamar juga tidak pernah. Tak pernah pintu kamar ini dibiarkan terbuka. Karena saking privasinya.

Sekarang justru kebalikannya. Ada orang asing yang bebas keluar masuk, bahkan kamar ini juga menjadi miliknya. Dia bebas melakukan apa saja di kamar ini. Bukan hanya itu, kamar ini dulunya sangat rapi dan wangi buah-buahan. Sekarang justru sering berantakan dan wangi minyak telon, kadang wangi parfum laki-laki.

Semuanya berubah secara tiba-tiba. Berubah begitu saja.

Aku menatap sekeliling. Isinya juga tak lagi sama. Sekarang ada lemari besar yang memakan tempat, ada rak lain berisi buku-buku. Lalu ada lemari khusus sepatu yang isinya bukan milikku. Meja belajar isinya penuh dengan entah apa. Meja rias minimalis sudah diganti yang lebih besar, karena benda-benda di atasnya semakin banyak. Ada juga sekeranjang mainan bayi di pojok ruangan.

Aku menatap tanganku, dulu ini sangat sering dipuji oleh teman-temanku karena sangat halus. Sekarang telapak tanganku lumayan kasar dan kukunya tak secantik dulu. Lalu tubuhku, sekarang sudah bukan milikku sendiri. Ini juga menjadi milik orang lain. Orang itu berhak atas tubuhku. Aku juga harus menyusui, yang jujur saja kadang rasanya sakit.

Melihat banyaknya perubahan yang aku alami, rasanya wajar-wajar saja jika ada orang yang tidak mengenaliku. Karena aku berbeda, tidak seperti dulu. Aku merasa jika sudah tidak semenarik dulu.

Aku memiringkan tubuh menjadi memunggungi Dirga, orang asing yang tiba-tiba masuk dalam hidupku.

Lampu kamar yang tadinya menyala terang seketika meredup. Ini adalah hal yang sangat tidak aku sukai. Tidur dalam keadaan minim cahaya. Tidak apa jika harus membayar listriknya lebih mahal, yang penting aku bisa istirahat dengan nyenyak. Daripada seperti ini, hemat listrik tapi aku tidak bisa tidur.

Baru saja mataku terpejam, aku seperti mendengar suara orang memanggilku. Ini bukan suara Ayah, bukan pula suara Dirga. Tapi suara orang asing. Orang asing yang menjadi penyebab berisiknya kepalaku.

Musim penghujan membuat apapun menjadi serba dingin. Dinding rasanya semakin dingin, udara di luar kadang membuatku menggigil, dan masih banyak lagi yang dingin.

Termasuk hubunganku dengan Dirga. Semakin hari kian mendingin. Aku tidak bisa menghitung hari dingin ini, karena aku tidak tau sejak kapan ini bermula. Kehangatan itu tidak pernah lagi kurasakan. Bahkan meskipun aku tengah malam masuk ke dalam pelukan Dirga. Rasa nyaman itu masih, tapi tidak dengan hangatnya.

Hari-hari masih seperti biasanya. Saat pagi, Arsya bersama Dirga, sedangkan aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Setelah Dirga berangkat, aku yang bersama Arsya sampai sore. Malamnya, Arsya bersama Dirga lagi, sedangkan aku melakukan pekerjaan rumah yang belum kukerjakan.

Terus seperti itu siklusnya.

Setiap hari.

Rumah bahkan hanya dihiasi oleh suara ocehan, tawa dan tangisan Arsya. Kadang obrolan antara Ayah dan Dirga.

Sisanya hanyalah hening.

Juga dingin.

Lima ekor kucing di rumah ini tak lagi rusuh seperti dulu, mereka lebih banyak diam, menatap para manusia di rumah ini.

Kucing-kucing itu sepertinya juga kedinginan karena hawa rumah ini. Sampai-sampai mereka jarang menampakkan dirinya di depanku yang setiap hari memberinya makan. Mereka lebih memilih untuk bersembunyi di gudang.

"Kamu berubah, Na."

Kalimat itu yang terus terngiang-ngiang dalam benakku akhir-akhir ini.

.
.
.
.
.

🥺☝🏼 Dirga, mending kamu sama aku, yang udah jelas-jelas mikirin kamu 24/7

Dirganteng lagi patah hati, yuk, kasih support 🥺🤏🏼

Teras RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang