Duabelas

3.5K 246 2
                                    

Selamat membaca 💐

.
.
.
.

Aku belum pernah mengalami hal seperti ini atau melihatnya. Arsya menangis sejak tadi. Kami hanya berdua di rumah karena Dirga belum pulang dan Ayah sedang pergi. Badannya lumayan hangat dan aku benar-benar bingung harus melakukan apa.

"Mas Arsya mau mimi? Iya?"

Tapi Arsya justru menolak. "Perutnya sakit? Iya?"

Wajah Arsya semakin merah, aku takut dia malah sesak napas karena sudah menangis sejak tadi.

"Loh, ini kenapa kok nangis?"

Akhirnya, superhero telah tiba. Dirga melangkah cepat mendekati kami dan langsung mengambil alih Arsya. "Ada apa?"

"Gak tau, tapi kayaknya perutnya sakit karena kebanyakan makan. Aku kasih susu soalnya nolak."

"Udah dari tadi?"

"Hampir sejam."

Dirga mengusap-usap punggung anaknya dan menciumi kepalanya. "Udah ya, sayang, ya. Cup, cup, mana yang sakit?"

Dirga sedikit membuka mulut Arsya dan memasukkan jarinya. "Ngapain itu? Tangannya kotor," protesku.

"Udah cuci tangan di depan tadi." Dirga lalu tersenyum dan menciumi wajah Arsya. "Udahan ya nangisnya, Ibu udah bingung, tuh, panik juga. Sakitnya cuma sebentar kok, Mas. Gigi barunya bikin risih ya? Udah, gak apa-apa kok."

Hah? Gigi? "Arsya rewel karena mau tumbuh gigi, Ga?"

Dirga mengangguk. "Ada dua tadi, udah nongol. Coba kasih lihat ke Ibu, Mas."

Kali ini Arsya menurut saat diminta membuka mulutnya. Ada dua bakal gigi yang sudah muncul. "Sini, sama Ibu lagi. Maaf ya, Ibu gak tau."

"Gak apa-apa, Na. Sekarang kita bobok ya, Mas? Udah malam soalnya. Kalau besok masih sakit, kita ketemu kakak dokter, ya?"

Dan akhirnya Arsya tidur pulas setelah dikeloni bapaknya dalam waktu lima menit.

Aku melangkah ke dapur dan membuka rice cooker, seketika aku menepuk kening. Jadi ... sejak sore tadi beras hanya direndam air? "Ga, maaf, aku tadi buru-buru dan ternyata berasnya belum kemasak."

Dirga ikut melongokkan kepalanya. "Kalau dimasak, rasanya pasti beda. Beli makanan di luar aja atau mau gimana?" tanyaku.

Tiba-tiba Dirga tersenyum. "Mumpung gak ada Ayah, masak mie instan dong."

"Mana kenyang, ih," protesku.

"Kenyang. Biar aku yang masak, dijamin enak dan bikin kenyang. Dimana mienya?"

"Lemari alat makan, bagian atas. Aku mau mie goreng aja." Aku terduduk lemas di sofa ruang tengah, benar-benar payah, aku bahkan masih kesulitan untuk memahami apa yang ingin Arsya utarakan.

Baru saja ingin rebah, suara tangisan Arsya terdengar. Buru-buru aku menghampiri anak itu dan menggendongnya. "Ga, kita ke dokter aja."

"Tapi kamu makan dulu," sahut Dirga yang ternyata menyusul ke kamar dengan semangkuk mie goreng.

"Kelamaan, Ga. Kasihan Arsya, udah gak nyaman."

"Justru kamu yang harus tenangin diri, Arsya makin rewel karena kamu panik kayak gini. Sekarang kamu makan dan biar aku yang gendong Arsya."

"Kok kamu tega sama anak sendiri yang lagi kesakitan kayak gini?" tanyaku marah.

"Na, kalau kamu meledak-ledak kayak gini, Arsya makin gak nyaman."

Teras RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang