Allo, double, bonus akhir bulan dari aku. Wakakakak
.
.
.Dirga versi mini atau versi sachet atau mungkin bisa disebut versi travel size memang sangat menggemaskan.
Jauh lebih menggemaskan daripada bapaknya. Oh, bahkan sekarang aku sudah tidak pernah lagi melihat wajah memelas Dirga. Sangat luar biasa. Aku senang sekali, syalalalalala.
Predikat menggemaskan sudah sepenuhnya berada pada sosok Dirga versi mini. Saking gemasnya, Dirga pernah menggigiti telapak tangan anaknya yang sedang tidur. Dikira ceker ayam kali ya.
"Assalamualaikum!"
Suara Dirga akhir-akhir ini mengacaukan segalanya. Aku sudah susah-susah menidurkan anaknya, tapi anak manis nan tampan itu langsung bangun begitu mendengar suara bapaknya.
Bayi di pangkuanku langsung berhenti menyusu, kaki dan tangannya bergerak aktif. Tak lupa kepala gundulnya menoleh kesana-kemari, senyumnya yang lebar sangat indah, meskipun tanpa gigi.
Dirga yang baru pulang langsung menyimpan tas dan jaketnya, setelah itu melangkah ke belakang. Anaknya masih terus tersenyum. Tapi yang ditunggu tak datang-datang. Dirga sachet mulai merengek, mengucek matanya dan bergerak gelisah. Apalagi saat Dirga melewatinya begitu saja. Rengekannya semakin menjadi.
Aku langsung berdiri dan membawanya masuk kamar. "Tuh, enggak ditinggal kemana-mana, cuma mandi sebentar, habis itu pakai baju. Soalnya Bapak bau asemmmm."
Selesai berpakaian, Dirga tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya. Anaknya berhenti merengek dan kembali tersenyum. "Padahal biasanya Bapak mandi dulu, loh, tapi kamunya gak hapal-hapal."
"Dari siang belum tidur lagi, Ga. Jangan lama-lama mainnya."
Dirga sepertinya tidak mendengar, karena dia sudah guling-guling di kasur bersama Dirga versi travel size.
Arsyanendra Putra Dirgantara.
Aku dan keluarga biasa memanggilnya Arsya. Tapi Dirga justru memanggilnya ....
"Na, lihat, deh, Dirga kayaknya mau tengkurap."
Nah, kan, Dirga maunya anaknya memiliki nama panggilan yang sama dengannya. Dirga.
Sudahlah, biarkan saja dulu. Palingan besok pagi nama panggilannya ganti. Asalkan jangan Purnomo, karena itu panggilan kesayangan dariku untuk Dirga versi kiloan.
Karena Arsya sudah bertemu lagi dengan bapaknya, aku langsung melanjutkan pekerjaan rumah yang tertunda. Jika dulu aku suka menyetrika, sekarang malah tidak suka. Palingan nanti tengah malam aku akan menarik-narik Dirga agar menyetrika.
Ah, iya, Dirga sekarang sudah tidak menjadi tour guide. Tapi dia sudah mengambil alih distro tempatnya bekerja dulu. Dirga merelakan semua koleksinya untuk dijual. Entah itu action figur, sepatu, jam tangan, bahkan sampai PS5 ikut dijual. Untuk tambahan biaya menyambut si kecil dan membeli distro.
Kuliah Dirga sudah selesai bulan lalu. Tujuh semester terlewati, meskipun di detik-detik terakhir harus ada drama. Nyaris mogok skripsian karena dosen pembimbingnya adalah orang yang sangat tidak menyukai Dirga. Hanya gara-gara dia tau bahwa Dirga adalah menantu Ayah. Oh, ayolah, bagiku itu hanya hal sepele dan sangat pribadi, tidak seharusnya sampai dibawa-bawa ke urusan akademik. Atau mungkin, memang ada sesuatu yang lain diantara keduanya.
Keuangan kami sudah semakin membaik, tak pernah lagi aku mendengar nyanyian meteran sejak Arsya lahir. Sudah pasti itu terjadi karena kami sudah pindah. Good bye, konser meteran yang kehabisan token.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teras Rumah
Short StoryAku dulu mengira, jika kehidupan pernikahan akan seperti kisah di novel. Setiap ada permasalahan, pasti langsung ada jalan keluar. Di novel, permasalahan rumah tangga paling sering adalah kurangnya komunikasi, orang ketiga, orang di masa lalu kembal...