SIMF: PART 11

7 2 0
                                    

Zenaya sudah menunggu Reindra hampir satu jam lebih. Sekolah yang tadinya penuh juga sudah hampir kosong, tapi masih ada beberapa orang yang masih melakukan ekstrakulikuler.

Zenaya sudah lelah menunggu. Ia juga tidak memiliki handphone untuk menghubungi Reindra.

"Zenaya bakal nunggu Reindra sepuluh menit lagi, kalau nggak ada, Zenaya bakal pulang sendiri." Gumam Zenaya sambil memperhatikan sekeliling.

Setelah menunggu kembali, Reindra tidak menunjukkan batang hidungnya. Zenaya kecewa. Tapi ini salahnya juga, karena terlalu berharap. Ia berjanji untuk dirinya sendiri agar tidak terlalu berharap kepada orang-orang di sekitarnya.

✨✨

Keadaan rumah Reindra dan Raika kosong. Satpam di rumah bilang mereka pergi ke suatu tempat. Rasanya Zenaya ingin marah, kenapa mereka tidak berbicara pada dirinya jika ingin berpergian?

Zenaya menarik nafasnya dalam-dalam, menghembuskannya secara perlahan. Ia menatap  ke arah luar, cuaca hari ini lumayan panas. Belum lagi perutnya lapar dan haus.

Bolehkan dirinya mengumpat? Mengatakan sumpah serapah kepada orang-orang yang sudah menyakiti dirinya? Tapi dirinya sadar, mungkin ini balasan karena dirinya pernah jahat kepada seseorang.

Semilir angin membuatnya menjadi mengantuk, perlahan-lahan matanya mulai menutup meniknati mimpi yang sangat indah.

✨✨

"Zenaya, bangun." Raika membangunkan Zenaya yang masih menutup matanya.

Zenaya mengeliat pelan dan membelakkan matanya ketika melhat keberadaan Raika dan keluarganya.

"Eh, maaf. Zenaya ketiduran." Ucap Zenaya menunduk malu.

"Kaka yang harusnya minta maaf, kamu jadi harus nunggu di luar kaya gini. Kamu pasti capek, ya? Yuk, masuk ganti baju. Abis itu kakak tunggu di ruang makan." Ujar Raika menuntun Zenaya yang masih setengah sadar.

Zenaya sudah selesai bersiap, ia segera menuju ke ruang makan. Zenaya sangat penasaran, kenapa keluarganya ada di sini?

"Makan dulu, Zen." Kata Raika kepada Zenaya yang masih terlihat bingung. "Nanti aku jelasin." Lanjut Raika.

Mereka menikmati makan dengan khidmat. Zenaya bisa merasakan hawa yang tidak enak sejak ia memasuki ruang makan. Ia benar-benar bingung, orang tuanya menatap dirinya tajam.

"Kamu kenapa malah tinggal di sini?" Ucap Rinti— mamah Zenaya, penuh peringatan.

Zenaya diam. Ia malas menjawab, bahkan ia masih menikmati puding dengan nikmat.

Rinti geram dengan tingkah anak nakal satu ini, jika bukan di rumah teman lamanya mungkin ia akan mengeluarkan kata-kata mutiaranya.

Zenaya menatap malas wajah orang yang sudah melahirkannya. Ia menganggkat bahunya acuh.

"Zenaya tinggal di sini karena waktu itu, Deno mukul Zenaya sampai lebam." Raika membantu Zenaya menjelaskan. "Lagian, Raika yang nyuruh Zenaya buat tinggal di sini." Kata Raika di akhiri senyuman manisnya.

Rinti yang tadinya menatap tajam Zenaya, tersenyum lembut ke arah Raika. "Deno pasti punya alasan kenapa, mukul Zenaya."

"Mungkin bener Deno nggak bakal mukul orang tanpa alasan, tapi apapun itu aku nggak bisa membenarkan perilakunya yang salah. Apalagi Zenaya adiknya." Jelas Raika.

Rinti tidak terima mendengar penjelasan Raika. "Kamu itu pacar Deno, harusnya bela Deno. Bukan bela Dia." Tunjuk Rinti ke arah Zenaya. Rinti yang sadar perbuatannya berdeham pelan.

SORRY, IT'S MY FAULTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang