SIMF: PART 6

11 2 1
                                    

"Kenapa?" Tanya Reindra yang masih menatap Zenaya tajam.

"Hah?"

Reindra mendengus kesal. "Ini kenapa." Tunjuk Reindra ke dahi dan juga lebam di sudut bibirnya.

Zenaya gelagapan. Berusaha untuk tidak gugup di depan Reindra. "Ke jedot pintu kamar."

"Bohong." Tekan Reindra yang semakin mengintimidasi Zenaya. Zenaya agak ragu untuk memberitahu, takut akan kemarahan kakaknya semakin menjadi-jadi dan melakukan hal yang lebih sakit daripada pukulan.

"Zenaya kena pukul kakak, tapi Reindra jangan bilang ke kakak, kalau Zenaya yang ngasih tau kamu. Zenaya takut kalau kakak ngelakuin hal yang lebih bikin Zenaya sakit." Mohon Zenaya matanya sudah berkaca-kaca mengingat kejadian kemarin.

Reindra diam. Tangannya mengepal erat hingga urat-urat di lengannya sangat terlihat. Zenaya mengusap lengan Reindra. "Reindra nggak boleh kaya gitu, Zenaya takut."

Reindra menormalkam ekspresinya. Menatap Zenaya yang ketakutan melihatnya marah.

Zenaya memang sering mendapatkan perlakuan tidak baik dari Reindra, tapi Zenaya tidak merasakan sakit hati atau takut. Tetapi ketika Reindra marah, Zenaya sangat takut tanpa alasan yang jelas. Yang jelas, marahnya orang pendiam itu menyeramkan. Sama seperti Reindra.

"Sorry, gue pergi." Ucap Reindra pergi meninggalkan Zenaya yang masih melamun.

Zenaya menghela nafasnya pelan menidurkan kembali raganya yang benar-benar lelah.

✨✨

"Lo kemarin nyiksa Zenaya?" Tanya Raika berusaha menahan amarahnya.

Dahi Deno berkerut. "Maksud kamu apaan, sih? Aku nggak paham? Kamu tau dari siapa? Aku nggak nyiksa Zenaya kok."

Raika memutar bola matanya. "Lo mau bohong sama gue? Gue tau dari mana itu bukan urusan lo, yang gue tanya bener apa nggak lo nyiksa Zenaya?!" Ketus Raika.

"Ngomongnya jangan lo-gue, aku nggak suka." Ringis Deno, ia mengacak rambutnya frustasi. "Iya, aku ngaku kemarin aku nggak sengaja dan hilap karena aku terlanjur emosi."

"Gue udah bilang sama lo, kalau emang lo nggak mau jaga adek lo dengan baik gue bakal terima adek lo secara suka rela. Lo mikir nggak kalau tindakan lo buat adek lo jadi takut."

"Adek lo bahkan nggak mau cerita kenapa bibir sama dahinya bisa luka. Bahkan adek lo bohong cuman buat ngelindungin lo. Kurang ajar banget, ya." Sudut bibirnya terangkat dan tersenyum kecut. "Kalau lo kaya gini, bukan cuman lo dan keluarga lo aja yang sakit hati. Tapi adek lo juga. Ini terakhir kalinya gue ngasih tau ke lo, selebihnya itu keputusan lo."

✨✨

Zenaya terbangun saat bel istirahat. Ia bergegas menuju kelasnya, dirinya tidak menyangka tidur begitu lama.

Sesampainya di kelas, ia melihat kelasnya kosong. Zenaya menduduki bangkunya dan menelungkupkan kepalanya di antara kedua tangannya. Ia terlalu malas untuk ke kantin.

"Kenapa nggak ke kantin?" Tanya Qila– teman sebangkunya.

"Tadi di uks udah di kasih makan, tapi nggak tau siapa yang ngasih." Balas Zenaya acuh.

"Emang lo nggak penasaran?"

"Sebenernya penasaran, tapi yaudah. Nanti juga tau siapa yang ngasih."

Mereka menyudahi obrolannya ketika guru Matematika datang. Pelajaran yang sangat menyebalkan, di tambah gurunya juga menyebalkan.

✨✨

Sudah jam pulang, tapi Zenaya masih betah diam di sekolah. Ia agak takut untuk pulang ke rumah karena keberadaan kakaknya.

Zenaya menatap langit-langit kelasnya dengan pandangan kosong.

"Lo kenapa belum pulang?" Tanya Farah tiba-tiba yang mengagetkan Zenaya.

"Eh, Farah. Aku males buat pulang, jadi diem dulu di sini. Kalau Farah kenapa belum pulang?" Jawab Zenaya ceria.

"Lagi latihan." Ucap Farah, ia penasaran dengan keadaan dahi dan sudut bibir Zenaya tapi ia terlalu gengsi untuk bertanya.

Zenaya yang paham arah pandang Farah berusaha menutupi, walaupun sebenarnya Farah sudah mengetahui.

Farah memicingkan matanya curiga. "Gue tau, nggak usah di tutupin. Ini kenapa?"

—————🌸🌸—————
-🦋 BATAS HALU 🦋-

Karena lupa update, aku bakal double update 😍🥰😚😖🫣🤭

SORRY, IT'S MY FAULTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang