Chapter 6

319 42 3
                                    

Sepuluh jam perjalanan telahku tempuh, dalam gelap gulita sampailah aku dirumah yang bilamana air mata dapat mengering dengan kecepatannya sendiri.

Kutatap pintu rumahku yang tampak terbuka, dan perlahan aku memasukinya.

Kala itu aku menuju kamar ibuku,  terlihat ia sedang melipat pakaian.

"Meera, kenapa sudah pulang?".

Ujar ibuku yang tampak terkejut saat menoleh kearahku.

Seketika itu aku menangis sembari menceritakan perjalanan yang kulalui selama dua hari, ibu hanya tertunduk diam.
Kugenggam tangan ibu dengan perasaan yang sangat berdosa. Demi menuruti inginku, aku sampai meninggalkan ibu.

Namun ia tetap diam seribu bahasa sembari melanjutkan pekerjaannya, hingga perlahan aku membantunya melipat pakaian.
Saat itu aku tersadar, ini adalah pakaian ayah yang tersimpan dilemari.

"Mungkin ibu merindukan ayah, atau hanya merapikannya saja?".

Aku masih tak berani bertanya tentang ayah pada ibu, karena pastilah ibu lebih kehilangan ayah dibandingkan diriku.
Menunggu orang tercinta bertahun-tahun, tanpa ada kabar sedikitpun, adalah hal yang sangat menyakitkan.

Orang-orang desa meyakini bahwa ayah telah tiada.
Mengingat ombak besar dan cuaca yang buruk tidak dihiraukan ayahku sebelum keberangkatannya.

Kala itu kami menyusun setumpuk demi setumpuk pakaian ayah yang telah dilipat kedalam lemari.  Meski membiarkanku membantunya, namun ia masih terdiam.

                               ***

"Senja telah lama pergi, malam yang gelap menjadi teman setia,
Menumpahkan suka duka.
Gemerlapan bintang nan elok,
Tertakluk keindahan hati.
Tuan, bolehkah aku menyukaimu?".

Tanpa sengaja aku memikirkan kejadian tempo lalu.
Bukan, sesungguhnya aku memikirkan tentangmu, dan memikirkan diriku, apakah aku orang yang terlihat mudah bagimu?

Apakah memalukan jika aku membuka hati terlebih dahulu?
Teringat janjimu yang akan datang walau hanya mampir sebentar,
Semakin aku yakin, kaulah lelaki yang aku dambakan.

                            ***

"Meera, kau sudah tidur nak?".

Lenguh ibu yang saat itu menghampiriku, tampak wajahnya sembab.

"Belum bu, ada apa?".

Sahutku cemas.

Perlahan ibu duduk disampingku, sembari membelai rambutku.

"Nak, apakah kau ingat rumah besar bewarna putih yang pernah kita kunjungi saat kau masih sekolah dasar?".

Aku mengangguk pelan, karena aku tahu itu adalah rumah sabahat ayahku.

"Meera anak yang baik, seandainya ibu mengharapkan sesuatu padamu, bisakah kau menuruti ibu?".

Ucap ibuku lagi yang seketika itu membuatku tertegun, mungkin karena ibu tak pernah meminta sesuatu padaku.

"Iya bu, apapun yang ibu inginkan aku pasti menuruti ibu."

Saat itu aku melihat ibu tersenyum, sudah sangat lama aku lupa akan senyuman ibu.

"Sore lalu, istri pemilik rumah itu mengunjungi ibu, ia memberi kabar bahwa suaminya, yang adalah sahabat baik ayahmu sedang sakit keras. Sekarang ia sedang dirawat diluar negeri. Dan mreka teringat janji yang pernah dibuat bersama ayahmu."

Sontak Ibu menghentikan ucapakannya dan kemudian ia menangis.

"Ibu, sebenarnya ada apa?".

Tanyaku yang khawatir bercampur bingung.

"Maafin ibu ya nak, harusnya kau tak kembali kerumah ini."

Timpal ibu yang sembari menutupi wajah dengan kedua tangannya.

"Ibu, apapun yang ibu katakan, aku berjanji akan menepatinya."

Pungkasku yang kala itu  tertular tangisan ibu. Karena aku lemah dan sulit menahan jika melihat seseorang menangis.

"Meera, ketika kalian kecil, kami berjanji menjodohkan kau dengan putra mereka setelah dewasa."

Mendengar perkataan ibu, bagai tersambar petir disiang hari.
____________________________________

pecintasenjamu

DILAUT ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang