Chapter 9

336 34 3
                                    

"Meera, bagaimana kabarmu? Semoga kau baik-baik saja, sebelumnya aku minta maaf karena berkunjung kerumahmu secara tiba-tiba.
Ada yang ingin kusampaikan, namun kau tidak disana.
Setelah membaca surat ini, kuharap kau menemuiku seminggu lagi dipantai tempat pertama kali kita bertemu."

Tertanda, Darren.

"Sekarang aku harus bagaimana?."

Sepertinya surat ini sampai setelah aku dan ibu pergi kerumah suamiku.
Perasaan yang telah sirna, kini muncul kembali. Akhirnya aku mengetahui inisial D dicincinmu.

Aku mengingat kenangan saat pertama kali kita bertemu, senyuman yang dulu ku benci, kini aku merindukannya.

Seandainya dulu kau yang menjadi suamiku, mungkin hidupku tidak akan seperti ini.

                               ***

Aku cepat-cepat kembali kepuskesmas tempat ibu dirawat, ku simpan surat yang kutemukan kedalam saku celanaku.

Disana suamiku tampak duduk termenung disebuah kursi, kala itu aku melewatinya dan kemudian masuk keruangan ibu.

Ibu menatapku dengan penuh kerinduan, seketika itu aku menangis sembari memeluknya, beribu kalipun aku meminta maaf tidak akan menghapus kesalahan yang kulakukan pada ibu.

Ibu membelai rambutku seperti dulu, airmata mengalir dipipinya sembari mengucapkan sesuatu, namun aku tidak mendengarnya, karena suara ibu begitu pelan.

Hingga perlahan Ku dekatkan telingaku, dengan terbata-bata ibu berkata "Nak, sebenarnya ayahmu telah kembali saat kau masih sekolah."

Seketika Aku menangis, bukan berarti aku terkejut karena mendengar perkataan ibu.
Hanya saja, mengapa Ayah tidak pernah pulang dan menemui kami?

Perlahan ibu menutup mata dan tertidur, sepertinya efek obat mulai bekerja. Begitu pikirku, namun ibu tidak pernah bangun lagi.

                          ***

Sudah tiga hari aku tinggal didesa, mertuakupun tiba setelah mendengar berita yang memilukan ini.

kulihat orang-orang yang sudah lama tidak kutemui berdatangan. mereka turut berbelasungkawa kepadaku.

"Sabar ya meera, ibumu sudah tenang disana, yang penting kau sering ziarah saja ke makam ibumu. Lagipula kau tidak akan kesepian karena sudah punya keluarga baru, tidak seperti ibumu, dia sendirian disini."

Mendengar kalimat itu rasa bersalah semakin menghantuiku, andai aku lebih cepat menemui ibu. Pastilah kemalangan ini tidak akan terjadi.

                             ***

Inilah hari dimana kami kembali ke kota, kutatap rumah yang memiliki kenangan sedari aku kecil.

Selamat tinggal rumahku, ku biarkan isinya sama seperti dulu.
Agar aku selalu mengingat, inilah tempat dimana aku pernah bersuka cita bersama ibuku.

Sesampainya dirumah mertuaku, tempat asing yang membuatku sulit bernapas. Aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Seluruh tubuh ini terasa lemas, kemalangan demi kemalangan menimpa bagai tiada henti.

Sejenak aku terdiam sembari merenung, mengingat hanya disini tempatku kembali, saat aku
menuju keruangan tempat biasa orang-orang dirumah ini berkumpul, tampak mereka sedang menungguku.

Mereka bersorak bahagia, suamiku menuntunku duduk disebelahnya, kutatap sebuah kue yang diatasnya bertuliskan "selamat ulang tahun istriku." Bersama lilin dengan angka 29 tahun.

Kala itu kami merayakan pesta kecil ini sembari makan malam bersama, suamiku memberikanku sebuah kotak kecil, dan saat mereka menyuruhku membukanya, sebuah cincin permata biru tampak bersinar.
Ini adalah hadiah pertama yang diberikan suamiku, namun lagi-lagi aku tak heran, karena ia memang seperti itu, selalu berpura-pura mencintaiku.

                          ***

Malam semakin larut, dan kami kembali ke kamar masing-masing.
Berat rasanya aku kesana, apalagi harus sekamar dengan orang yang tidak pernah mau seranjang denganku.

Perlahan ku letakkan kotak berisi cincin yang diberikan suamiku kedalam lemari, bersebelahan dengan surat yang kutemukan tempo hari. Namun ntah mengapa aku masih ingin membacanya lagi, karena kesedihan ini akan mereda jika kembali membuka surat itu.

Tak ku sangka tiba-tiba suamiku datang, hingga dengan spontan aku menyembunyikan surat itu.

"Apa yang kau sembunyikan?".

Namun aku tak menjawab pernyaannya itu, karena bagiku ia tak perlu tahu. Meskipun kami telah menikah, kami tetap menjalani kehidupan masing-masing.

"Berikan!"

Serunya yang seketika itu merampas suratku dan kemudian membacanya.

"Kini, aku mempunyai alasan untuk menceraikanmu."

Ujar suamiku.

____________________________________

pecintasenjamu

DILAUT ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang