Chapter 7

297 35 3
                                    

Seminggu telah berlalu, akhirnya kami tiba dirumah sahabat ayahku yang letaknya tak jauh dari desa tempat tinggalku, sekitar lima jam.

Sebelumnya ibu telah mengirimkan surat pada mereka tentang kepulanganku, hingga dua hari setelahnya mereka menjemput aku dan ibu.

Sayangnya sahabat ayah tak bisa ikut bersama kami, karena ia baru saja pulang dari rumah sakit tempatnya dirawat.

Dirumah itu, aku dan ibu dijamu dengan berbagai makanan yang lezat, sahabat ayah dan istrinya sangatlah ramah, tapi tidak dengan putra mereka yang akan dijodohkan denganku, kala itu ia tampak tak senang dengan aku dan ibu.
Sorot matanya yang tajam menatapku dingin seakan mengusirku.

                               ***

"Meera, meera."

Pagi itu terdengar suara seorang wanita, yang membuatku membuka mata, tampak calon ibu mertuaku yang sangat anggun setelah berhias dan mengenakan kebaya bewarna merah.

"Ayo siap-siap, ini hari pernikahanmu."

Serunya padaku yang masih belum mengumpulkan kesadaran,
Dengan perlahan aku bangkit dan menuju kamar mandi yang letaknya masih satu ruangan dengan kamar tidur.

Hingga saat itu aku tersadar bercampur tertegun, karena begitu sampai kesini aku langsung menikah.

Tidak ada perasaan senang atau sedih, hanya perasaan hampa, seperti inilah pernikahan yang dijodohkan.
Aku bahkan tidak mengetahui bagaimana sifat orang yang akan menjadi suamiku.

                             ***

Kala itu aku penasaran melihat wajah ibu setelah berdandan, Pastinya ia sangat cantik, namun sampai saat ini aku bahkan tak mendegar suara ibu.

Tubuhku kaku saat seorang wanita merias wajah dan menata rambutku, perasaanku sendu hingga kuberanikan diri bertanya mengenai ibuku.

"Tante, apakah ibuku sudah selesai? Sejak tadi saya tak melihatnya."

Lenguhku pelan yang seakan kelu, mungkin ini perihal wajahku yang sedang dihias.

"Ibumu tadi berangkat subuh-subuh, ia kembali kedesa karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya terlalu lama, Padahal putrinya akan menikah."

Seketika aku mengernyitkan keningku, seakan tak percaya dengan ibu yang tega meninggalkanku sendirian disini.
Kupikir setelah menikah, aku dan ibu akan menjalani kehidupan lebih baik daripada didesa.

"Untuk apa aku mengiyakan perkataan ibu, kalau akhirnya seperti ini?"

                            ***

Dengan langkah yang begitu berat, aku menuju sebuah ruangan, tampak orang-orang telah menunggu, termasuk calon suami dan ayah mertuaku yang kini duduk dikursi roda.

Tidak ada alunan musik ataupun sorakan orang-orang.
Pernikahan kami berjalan khidmat.

Satu persatu orang yang tak kukenal memeluk dan memberiku selamat, Ayah dan ibu mertuaku menangis haru, orang-orang tampak bahagia termasuk suamiku.

Tapi tidak denganku, aku tersenyum pahit.
Dihari yang bahagia bagi sebagian orang, Ibuku tidak disini.
Seandainya ibu memang kembali kerumah, mengapa ia tak bicara padaku terlebih dahulu,
Setidaknya aku bisa melihat senyum terakhir ibu, ketika ia melihatku mengenakan gaun pengantin ini, karena aku sudah lupa bagaimana ibu tersenyum.

                            ***

Acara pernikahanku yang tak berlangsung lama,  membuatku makan malam bersama keluarga baruku.

"Bapak senang akhirnya bisa menepati janji dengan menikahkan kalian berdua."

Ucap seorang pria paruh baya, ia adalah sahabat karib Ayahku.

"Iya pak, seandainya ayah dan Ibu meera disini, pasti mereka juga bahagia, karena sekarang kita sudah menjadi keluarga." 

Timpal ibu mertuaku, sembari menuangkan teh ke sebuah gelas.

Aku hanya tersenyum tak tahu harus menjawab apa.
Kutatap suamiku yang makan dengan lahap, bahkan ia menuangkan jus pada gelasku yang masih kosong.

"Melihatnya yang tidak protes tentang pernikahan kami, apakah aku juga harus mulai membuka hati?".

Makan malam kala itu tampak sempurna karena sesekali mereka saling bercanda ria.

"Nak, ibu berharap kau bahagia tinggal disini, kalau perlu apa-apa bilang pada ibu saja."

Aku mengangguk sembari tersenyum lagi.

"Kita istirahat yuk , sudah malam. kau pasti lelah seharian ini."

Tutur ibu mertuaku yang pasti lebih lelah karena mengurus acara ini, namun ia masih memikirkanku.
Kala itu kami berpisah dan pergi menuju kamar masing-masing.

Jantungku berdegup kencang saat menuju kamar tidurku, ketika aku membuka pintu, aroma bunga mawar memenuhi indera penciumanku, bunga-bunga tersusun dengan sangat cantik.

Aku saling beradu pandang dengan seorang pria yang telah menjadi suamiku, ia membuatku begitu gugup ketika berjalan menghampiriku.

Sontak ia berhenti tepat dihadapanku sembari berseru,

"Aku setuju menikah denganmu bukan berarti aku menyukaimu!"

____________________________________

pecintasenjamu

DILAUT ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang