Hujan mengguyur pepohonan dan tanah, membuat rambut Hinata menempel ke dahinya. Air sedingin es menetes dari bulu matanya. Neji kecil duduk di depannya, dan mata mereka saling bertatapan.
Kenapa kau tidak menerimanya saja? Matanya menunjukkan tatapan yang aneh—campuran aneh antara kemarahan dan penderitaan.
"Tidak," Hinata memekik, menggelengkan kepalanya dengan panik.
Kau harus membiarkannya beristirahat. Inilah yang dia ingin kau lakukan.
Rambut Hinata yang basah bergoyang-goyang dari kiri ke kanan saat ia terus menolak. "Aku... aku tidak peduli."
Neji kecil mendorong tangannya ke dahinya, dan suaranya terdengar seperti geraman. Hinata...
"Aku... bilang... tidak." Air mata membasahi bibirnya yang terluka. "Aku ingin bicara dengannya."
Neji kecil mengertakkan gigi dan mencomooh Hinata. Kau harus menyerah.
Hinata terus menggelengkan kepalanya.
Keras kepala sekali... Erangan keras bergema di telinga Hinata. Ia merasakan keputusasaan Neji kecil, dan itu adalah perasaan yang sama persis dengan apa yang ia rasakan di dadanya.
Tali yang mengikatnya ke pohon tidak memberinya ruang satu senti pun untuk bergerak bebas. Namun tiba-tiba, ia tidak peduli selama tali itu tidak mengikat hatinya lagi. Sejumlah kawat telah meremas hatinya—kematian ibunya, kebencian ayahnya. Tapi yang terburuk adalah yang ia dapatkan selama perang.
.
.
.Tak lama kemudian, hujan membeku dan berubah menjadi es. Langit seperti musuh yang melemparkan senjata tajam yang menyamar sebagai hujan es.
Ketika Sasuke muncul di pohon tempatnya meninggalkan Hinata, matanya terbelalak ketika melihat gadis itu. Kuchiyose ular kecil miliknya menghilang ketika ia membuat segel tangan singkat. "Sial."
Duduk di sana, masih terikat di pohon, Hinata tidak bereaksi terhadap kembalinya Sasuke, meskipun matanya setengah terbuka. Hujan membingkai wajahnya, mengalir turun seolah gadis itu sedang menangis. Pandangannya yang kosong menyasar ke satu titik di depannya saat ia melamun. Aliran darah kental menodai dagunya, mewarnai dagunya dengan warna kemerahan gelap setelah ia berulang kali menggigit bibirnya.
Seketika, Sasuke membebaskan Hinata dari jeratan tali kawat. "Hinata?"
Kehilangan dukungan dari tali kawat, tubuh Hinata hampir jatuh ke depan. Sasuke baru saja akan menangkapnya, tetapi pada detik terakhir, otot-ototnya menegang, dan Hinata mendapatkan kembali posturnya yang kaku, menarik tangannya untuk memberi isyarat agar Sasuke menjaga jarak.
"Oh. Kau sudah kembali." Ekspresi wajahnya yang kosong mempertegas matanya yang merah dan bengkak.
Setelah membaca berkas-berkas Hinata, tidak sulit untuk menilai situasi yang sedang terjadi saat ini. Sasuke tetap bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Bukan apa-apa." Suara tenang Hinata terdengar parau. Sasuke bertanya-tanya apakah Hinata tadi berteriak. Hinata berhasil menghindari tatapan Sasuke dengan baik. "Kita bergerak lagi?"
Sasuke menelan ludah. Ini terlihat lebih buruk dari yang ia bayangkan. Tidak sulit untuk memahami semuanya. Jelas, Hinata mengalami semacam gangguan mental saat ia pergi. Sasuke tahu itu, sama seperti yang ia alami dulu.
Yang lebih sulit untuk diterima adalah perubahan yang jelas pada sorot mata Hinata. Sebelum ia pergi, mata itu terlihat penuh harapan dan kepercayaan. Sasuke menyadari bahwa, untuk alasan apa pun, Hinata telah memberikan kepercayaan padanya. Mungkin karena mereka pernah satu kelas di Akademi, bertempur bersama saat perang, atau karena Naruto. Alasannya tidak penting. Yang penting adalah ia melihat kepercayaan itu sudah tidak ada sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Looking at the Ghost of Me
FanfictionSasuhina "Menyerahlah, Hinata," suara Neji terngiang di telinganya. Tepat setelah perang, Hinata mulai mendengar dan melihat sepupunya yang telah meninggal. Untuk menemukan kedamaian batin, ia memutuskan untuk memecahkan rahasia hubungan mereka. Nam...