BAB 13 : SOUR CANDY

2K 262 9
                                    


Aren bersumpah, Marcus berniat mengirimnya ke jurang kematian! dan ia yakin sang maut pun pasti akan senang apabila mendapatkan jiwanya.

Kalaupun ada yang mampu mengantarkannya ke dalam pelukan sang maut, Marcus lah orang pertama yang mampu membawanya secepat kilat kepada sang maut.

"Aku pikir aku akan mati!" Aren menutup kedua mulutnya kuat-kuat, astaga! demi sang matahari! perutnya bergejolak ingin mengeluarkan sisa makanan yang berada di lambungnya.

Rasanya, seperti sesuatu sedang menghancurkan lambungnya, dengan begitu semangat ingin mengeluarkan isinya.

Rasa mual yang kuat Aren tahan hingga telapak tangan besar seseorang membelai punggungnya lembut, menawarkan rasa hangat dan ketenangan yang mampu membuat jiwa Aren terbuai dalam balutan itu. Tapi perutnya tidak berkompromi dan Aren bersumpah untuk tidak lagi menggunakan sihir teleportasi ini jika membuatnya begitu tersiksa.

"Kau tidak akan mati, sayangku." kedua tangannya disingkirkan oleh Marcus, terganti dengan tangannya sendiri dan sesuatu yang manis serta asam masuk ke dalam mulutnya.

Secara ajaib membuat rasa mualnya hilang dan perutnya terasa lebih nyaman. Kemudian, Aren mendongak.

Wajah yang sialan tampan dan seksi itu tersenyum licik namun manis, Aren tahu Marcus memang berniat menjahilinya.

"Oh, sayangku. Wajahmu sangat lucu saat ini." Tawanya secerah mentari, lekuk tawanya tinggi dengan lesung pipit di kedua pipi lelaki itu yang secara sombong menunjukkan pesonanya. Aren enggan terbuai ke dalam pesona yang panas dan penuh tipu daya itu, namun entah hati dan pikirannya yang tidak sesuai. Degup jantungnya berdetak kencang.

Kemudian, rasa permen ajaib di lidahnya mampu menghentikan Aren dalam pikiran gilanya.

"Apa yang saya makan ini, Yang Mulia?" Aren bertanya sembari menyentuh bibirnya sendiri.

Lekuk sudut bibir lelaki itu untuk kedua kalinya terangkat tinggi, ketampanan di luar akal sehat itu membuat kepala Aren pusing. Terkutuk lah dirinya sendiri yang tidak bisa menahan godaan terselubung.

Marcus terkekeh.

"Menurut mu apa?"

Aren mengangkat alis dan menebak dengan sembarang "racun?"

Gelak tawa itu pecah seketika Aren menjawab racun. Entah kenapa, Aren merasa dirinya sangat malu. Mungkin jawabannya yang sembarang itu dianggap lucu dan menggemaskan oleh Marcus "bagaimana mungkin aku memberi racun untuk istri ku sendiri." ucap sang darah biru itu di tengah sisa tawanya, suaranya yang agak serak dan dalam menggetarkan sesuatu di dalam diri Aren.

glup.

Aren tentu masih memiliki harga diri dan bersikap seolah-olah dirinya tak melakukan kesalahan apapun. Merasa curiga, ia pun melihat kantong celana Marcus yang sedikit mengembung.

Matanya mendelik dan Marcus tahu Aren akan melakukan sesuatu. Benar saja, Aren memasukkan tangannya ke dalam kantong celana Marcus dan merogoh sesuatu.

Ketika Aren mengeluarkan barang kecil itu yang berjumlah lima buah, ia tak menutupi ekspresinya yang terperangah tidak percaya.

Sontak, kedua pipi Aren bersemu kemerahan dengan sensasi hangat menjalar di kedua pipinya.

"Sudah ku bilang, aku tidak memberikan racun pada istriku sendiri."

Apakah Marcus sudah mengantongi hal ini sebelum mereka pergi? betapa manisnya-- ah tidak, maksudnya, Aren hanya tidak percaya Marcus akan menyiapkan hal ini untuk nya.

Marcus memeluk punggungnya dan membawa mereka ke suatu tempat. Mereka masuk ke dalam sebuah gedung besar bercorak putih. Hotel penginapan terkemuka yang mengusung tema surgawi. Salah satu staf memberikan satu kartu tipis berwarna hitam, agak sedikit aneh karena staf itu sangat kaku dengan wajar lurus.

Namun fokus Aren teralih akan hal lain.

"Tempat yang indah sekali." Gumamnya. Loby yang luas dan megah menyihirnya untuk terus terperangah. Jika dibandingkan dengan hotel-hotel terkemuka di ibukota. Hotel ini tak kalah jauh jika ingin bersaing.

Mereka berjalan menuju satu jalur yang hanya cukup dilewati oleh dua orang manusia dewasa. Sungguh gelap jika tidak diberi penerangan, Aren pun heran mengapa hotel mewah seperti ini memiliki jalur yang tidak di beri penerangan yang cukup.

Tidak berapa lama mereka berjalan, mereka hanya bertemu dengan dinding putih yang polos.

Sontak alis Aren menyerngit keheranan "saya rasa tidak ada jalan lagi, Yang Mulia." Tangannya pun tanpa sadar memeluk lengan besar Marcus. Sang pemilik yang merasakan hal itu tersenyum miring seperti setan.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan." Ucapnya.

Ketika Marcus meletakkan satu kartu di dinding, sekejap dinding tersebut berubah menjadi pintu dengan corak buruk gagak besar di tengah lingkaran.

Marcus memegang dagu Aren yang kecil "tetap di samping ku, dan jangan lepas tudung mu, mengerti?" Walaupun merasa akan ada hal yang aneh, Aren tetap mengangguk dan mengeratkan pelukannya di lengan Marcus. Selepas itu kekehan kecil mengiringi langkah kaki mereka memasuki pintu itu.

'aku rasa dia sudah gila tertawa seperti itu, sungguh mengerikan' Aren yang tak sanggup mengungkapkan kata hati pun hanya mampu membatin.

Tak sangka.

Dibalik pintu bercorak burung gagak, rupanya adalah tempat arena orang-orang bertarung memperebutkan barang langka.

Aula yang luas, bangku penonton yang jika dihitung mampu menampung ribuan mahluk, panggung yang besar dan tinggi. Serat sorot lampu yang berasal dari berbagai macam sudut menambah kesan arena pertarungan yang intens.

Marcus memilih bangku yang tidak dekat maupun jauh, tetapi tetap pas sejauh mata memandang.

"Kenapa anda mengajak saya ke tempat seperti ini?"

Merespon hal itu tangan Marcus memangku dagunya sendiri, alisnya terangkat sedikit dan tatapannya sangat jenaka untuk menggoda Aren. Kalau Aren lihat dengan cermat lagi, Marcus menggigit bibir tebal bawahnya sedikit. Jarak yang sangat dekat membuat Aren harus tetap menjaga sikapnya agar tidak salah tingkah.

"Apalagi?" Suara hipnotis itu berbisik pada Aren "tentu saja untuk berbelanja."

Aren tidak tahu apakah Marcus sedang menggodanya atau tidak tapi ia ingin menggali lubang dan mengubur tubuhnya di sana.

"Yang mulia!" Bentak kecil Aren.

"Saya tidak menyangka, Yang mulia mendukung hal seperti ini!" Bentakan kecil itu di mata Marcus seperti anak singa yang marah karena menginjak teritori nya.

Marcus mengambil tangan Aren dan mengecupnya, oh tidak, juga menjilatinya sedikit "bagaimana pun, suatu hal yang istimewa pasti ada harganya, sayangku." Aren tak bisa melepas tangannya karena cengkraman Marcus.

"Tenang saja, tempat ini ada karena izin ku, tidak ada suatu hal yang tak lazim, semua terverifikasi dengan baik." Senyumnya seperti Casanova pro di ibukota, Aren yakin Marcus dengan jentikan jari pun mampu menculik hati orang-orang.

Marcus mengecup lagi tangan Aren.

"Apakah penjelasan ku cukup, Aren?"

Aren menghela nafas "cukup, Yang mulia, tetapi tolong lepaskan tangan saya dari bibir anda terlebih dahulu."

"Ah, maaf, sepertinya akan menjadi kebiasaan ku." Kekeh lelaki yang hampir berumur kepala tiga itu.




TBC

[BL] THE CROWN PRINCE FIANCÉ (ON GOING🟢)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang