Beberapa bulan telah berlalu sejak hari-hari sibuk di SMPN WIMA, dan kemarin adalah hari terakhir ujian akhir semester.
Ryan melangkah santai menyusuri koridor sekolahnya, sesekali tersenyum menyapa beberapa teman yang lewat. Tapi, langkahnya mendadak terhenti saat melihat Tifani berjalan bergandengan dengan Zilla, seorang cowok dari kelas lain.
Tiba-tiba, ada rasa panas yang menyelimuti dirinya, perasaan cemburu yang tak bisa disembunyikan terlihat jelas di matanya. Namun, perasaan itu mendadak pudar saat sebuah tangan menyentuh bahunya dari belakang.
“Ngapain lo berhenti di sini?” Rafqi, menatapnya heran.
“Bukan urusan lo,” jawab Ryan singkat tanpa menoleh.
Rafqi memutar tubuhnya, lalu berdiri di depan Ryan, menatap tajam wajah temannya itu. “Masih cemburu liat Tifani deket sama cowok lain?” tanyanya blak-blakan.
Ryan hanya mengangguk lemah, kemudian menghela napas panjang. “Iya.”
Rafqi mengerutkan kening. “Lo udah lama sama Risa. Kenapa lo belum bisa ngilangin perasaan itu ke Tifani?” tanyanya dengan nada prihatin.
Ryan mengalihkan pandangannya, menatap lantai koridor yang sepi. “Gue udah usaha, Raf. Tapi semakin lama, bukannya perasaan gue ke Fani yang hilang, malah perasaan gue ke Risa yang perlahan menghilang.”
Rafqi terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Ryan. “Tunggu, lo bilang apa tadi? Perasaan lo ke Risa perlahan menghilang?” tanyanya memastikan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Ryan mengangguk pelan. “Iya.”
Rafqi menghela napas panjang, menatap Ryan dengan pandangan penuh ketidaksetujuan. “Jangan bilang ke gue kalau lo mau mengakhiri hubungan sama Risa,” katanya dengan nada setengah berbisik, mencoba menekan emosi yang memuncak.
Ryan menggeleng, tetapi wajahnya terlihat ragu. “Untuk sekarang, enggak. Tapi gue gak tau kedepannya gimana,” ucapnya pelan, seolah kata-kata itu menambah beban di hatinya sendiri.
Rafqi menggelengkan kepala dengan frustrasi. Ia tidak puas dengan jawaban Ryan. Bagaimana mungkin temannya yang dulu begitu yakin dengan perasaannya pada Risa sekarang bisa merasa seperti ini? Dengan perasaan kesal yang sulit ia sembunyikan, Rafqi akhirnya memutuskan untuk pergi. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan cepat menuju kelas, meninggalkan Ryan yang masih berdiri mematung di koridor.
Di dalam kelas, Rafqi tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ia merasa kecewa dengan sikap Ryan yang terkesan setengah-setengah. Baginya, Ryan dan Risa adalah pasangan yang sudah bersama cukup lama, dan ia tidak ingin melihat mereka berpisah hanya karena bayang-bayang masa lalu yang seharusnya sudah dilupakan.
“Kenapa sih, Yan, kisah lo harus jadi serumit ini?” gumamnya pelan, sambil melihat keluar jendela kelas. Rafqi tahu, bahwa ini bukan sekadar masalah cemburu atau perasaan yang mengambang. Ini tentang bagaimana Ryan bisa jujur dengan dirinya sendiri dan memilih jalan yang tepat, baik untuk dirinya maupun untuk Risa. Dan Rafqi tahu, keputusan itu tidak akan mudah.
Bel istirahat baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu, dan seperti biasa, Ryan, Rafqi, Zaki, Risa, Haura, Nara, dan Kayla berkumpul di kantin sekolah. Biasanya, suasana makan siang mereka ramai dengan canda tawa, tetapi kali ini semuanya tampak sunyi. Tidak ada obrolan apapun, dan hal ini membuat Zaki berpikir keras untuk mengubah suasana.
![](https://img.wattpad.com/cover/354851649-288-k537474.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love it's a wound [END]
Teen Fiction"Gue cuma mau Risa sedikit aja mirip sama dia, emang salah?" ***** "Gue udah usaha. Tapi semakin lama, bukannya perasaan gue ke dia yang hilang, malah perasaan gue ke Risa yang perlahan menghilang." ***** Risa Azkia Bimantara, gadis berambut hitam l...