33

2K 211 5
                                    

Denting bel tanda masuk jam istirahat pertama telah berbunyi nyaring sejak beberapa detik berlalu, namun Jeano masing sibuk menimbang keputusan antara ingin tetap berdiam diri di tempat atau memilih kabur.

Entahlah, tapi ruang kelas yang hanya diisi dengan dirinya bersama Mahendra cukup memberi kesan kecanggungan tingkat tinggi. Jeano sendiripun tak tahu apa yang sebenarnya menjadi alasan dari rasa gelisah yang menyerang.

"Lo nggak laper?"

Tubuh di depannya tersebut nampak tersentak, kepalang terkejut akan suara yang ia keluarkan. Mahendra tersenyum. Gemas dengan tingkah kekanakan milik si pemuda Adiwarna.

Apa yang harus dia ucapkan sebagai jawaban? Haruskah dia berkata jujur jika ia sebenarnya sedang menunggu presensi Jeffrian yang sudah memborbardir pesan hingga panggilan beruntun di awal pelajaran pertama hanya demi menghentikan niatnya untuk beranjak dari kelas?

Sedikit kesulitan di awal, si pemuda kini berjalan dan menduduki bangku kepunyaan Revan yang sudah kosong. "Jeano, 'kan?" Mahendra bermaksud mencairkan suasana, meskipun dia sudah tahu perihal nama lengkap pemuda yang berada tepat di depannya ini ketika tak sengaja melirik name tag yang dikenakannya ketika mereka berpapasan tadi.

Kepala bulatnya mengangguk, dengan gerak cepat mengiyakan. "Jeano ..., lo mau temenan sama gue, nggak?" ajak Mahendra tiba-tiba.

Seharusnya, dilihat dari reaksi tak percaya itu, Jeano dengan tegas akan menolaknya. Siapa juga yang mau berteman dengannya? Mahendra terkesan tak tahu malu dengan begitu percaya diri seakan memaksa agar ia mau berteman dengannya.

"Mau! Mau!"

Tapi, jawaban yang berbanding terbalik dengan ekspektasi jeleknya itu sungguh tak bisa dipercaya. Mahendra tak bisa tak tersenyum. Semakin menggemaskan ketika binar sipit tersebut nampak sangat antusias ketika menyuarakan persetujuannya mengenai permintaannya tadi.

Mahendra tertegun sembari terus memandang tak berkedip ke arah Jeano. "Kenapa?"

Jeano bergumam panjang. "Aku nggak punya temen."

"Seriously? Udah 3 bulan sekolah di sini dan lo masih belum dapet temen? Mereka nindas lo, apa gimana?" Mahendra merespon dengan keterkejutannya.

Merasa Mahendra mulai salah paham, maka dengan cepat Jeano menepisnya. "Ah! Nggak, kok. Emang nggak ada temen deket aja. Soalnya, aku nggak asyik." Pemuda itu mengulum bibir. Ingin bersuara kembali. "Kalau aku boleh nanya, kaki kamu kenapa?"

Mahendra melirik ke arah kaki yang tengah ditunjuk oleh Jeano. Senyum tipis tersungging digurat lembutnya. Sekali lagi, ia berupaya menciptakan kesan menyenangkan agar lawan bicaranya ini betah menjadi temannya. Padahal, jika dipikir-pikir, memang perkataan Jeano tadi terbilang cukup sensitif baginya. Tetapi, tak mengapa. Selagi Jeano berkeinginan untuk mengobrol, Mahendra hanya perlu menjawab bahkan jika diselingi sedikit kebohongan didalamnya.

"I had an accident in Vancouver." Melihat kedipan polos tersebut, Mahendra nyaris tertawa. "I mean, Canada."

Birainya membulat penuh. Kepalanya manggut-manggut dengan sorot menatap ke lain arah. Mencari topik pembicaraan lagi agaknya. "Kayaknya nggak permanen," gumamnya sok tahu.

Namun, tebakan asal-asalan tersebut ternyata dibenarkan oleh Mahendra. "Yup! Selepas terapi melelahkan selama satu tahun lebih, mereka bilang, gue punya peluang buat sembuh. Itupun tergantung rajin nggaknya gue terapi."

"Kalau gitu, kamu nggak boleh skip terapi biar cepet sembuh," usul Jeano.

Mahendra menghela napas berat. Bicara memang mudah karena Jeano tak tahu seberapa melelahkannya itu untuk dilakukan. Belum lagi tentang berapa lama waktu yang terbuang percuma hanya demi berlatih berjalan tanpa tongkat dan hanya berbekal tiang penyangga. Mahendra kerap dihantui rasa pesimis akibat terlalu sering terjatuh.

"Bisa diatur. Tapi, gue belum pernah terapi di Indonesia. Lagian gue juga nggak mungkin pergi sendirian. Kalau lo bisa, temenin gue tiap sesi terapi, gimana? Hitung-hitung sebagai support system gue buat semangat ngejar kesembuhan."

"Nggak bisa!"

Bukan Jeano yang menjawab. Keduanya serempak menoleh ke arah pintu dan langsung dikejutkan oleh presensi Jeffrian yang tengah memandang tajam ke arah interaksi Mahendra dan Jeano.

Dengan langkah serampangan, Jeffrian menarik paksa Jeano dari kursinya sehingga membuat yang lebih muda terpaksa beranjak dari kursi.

"Kak Jeff mau bawa aku ke mana, sih? Bentar lagi istirahat kelar. Aku nggak mau bolos!" pekik Jeano, berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Jeffrian yang sangat terburu-buru dalam membawanya pergi entah kemana.

Jeffrian berdecak nyaring. Giginya bergemelutuk tatkala ia bersitatap dengan air muka protes Jeano usai mereka berhenti di salah satu lorong.

"Jadi, ini alesan kenapa lo minta supaya gue ngerahasiain hubungan kita."

"Aku-"

"Supaya lo bisa bebas selingkuh, iya?!"

[.]

double up! ;3

YOGURT SHAKE   +jaenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang