74

431 58 5
                                    

“... Kena mesinnya kayaknya ini, Dek.”

Jeffrian mendengkus gusar. Ia tatap figur Jeano yang sedang duduk di atas bangku panjang sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang mengudara. “Gue beli baru aja buat cadangan, ya? Nungguin ini kelamaan, toh lo juga udah nggak nyaman lagi pake motor gue yang biasa. Kalaupun emang pas udah beli nanti yang ini juga udah bener, lo boleh pake salah satunya, kok.”

Labium pemuda itu tampak mengulum dengan air muka muramnya. Jeffrian tahu bahwa motornya yang sedang bermalam di bengkel tersebut adalah termasuk kesayangan Jeano, namun apa boleh dikata jika ternyata motornya ini tak bisa ‘diselamatkan’ dalam waktu cepat?

Si montir pun terlihat menggaruk-garuk kepalanya, agaknya juga kebingungan perihal masalah beruntun yang menimpa motor Jeffrian. Padahal secara fisik, motor tersebut terkesan masih sama mulusnya seperti baru. Hanya saja, Jeffrian kurang tanggap perihal penyakit motor jenis matic sehingga tak pernah ada motivasi untuk melakukan service secara berkala pada motor tersebut.

“Iya,” ucapnya pasrah dengan satu helaan napas berat terdengar sambil melompat menuju lantai.

Jeffrian tersenyum kecil. Ia bawa tangannya untuk mengelus pucuk kepala milik si pemuda yang masih tak hentinya cemberut usai memutuskan untuk menghampiri Jeffrian dengan langkah kecilnya. “Entar gue pesen ke Jerry supaya dianterin sama anak buahnya.”

Anggukan kecil diterima. Lantas, Jeffrian rangkul pundak Jeano untuk ia ajak keluar dari bengkel langganannya. “Lo marah?” tanya Jeffrian mana kala menyadari jika Jeano tak cukup aktif untuk berbicara selayaknya biasa.

Jeano kontan menggeleng pelan. “Nggak gitu. Tapi, aku ngerasa kepikiran aja. Kak Jepi kenapa manjain aku banget bahkan sampai rela keluar uang banyak buat aku? Kesannya jadi kayak aku lagi manfaatin Kak Jepi buat keegoisanku sendiri. Aku takut nggak bisa bales semua itu, Kak Jepi.”

“Ya udah, manfaatin gue aja. Gue nggak keberatan, tuh. Anggeplah itu sebagai benefit buat lo karena berhasil bikin gue untuk pertama kalinya jadi bulol kayak gini.”  Jeffrian terkekeh geli, kemudian kian merangkul erat leher milik kekasihnya agar Jeano semakin merapatkan diri dengan badannya. “Lagian gue ngelakuin ini suka rela ke lo, nggak pake embel-embel pamrih. Bukan semata cuma karena gue kasihan, tapi—ya, karena gue ngerasa kalau ini cara terbaik buat ngasih bukti ke lo kalau gue emang serius dihubungan kita sekarang.”

“Ano, lo sendiri tau kalau gue bukan tipe pacar yang romantis. Maka dari itu, gue mau nunjukin ke lo cara lain supaya lo bisa paham kalau tanpa ngomong cinta sekalipun, lo langsung ngerti pas gue secara tersirat bilang kalau gue sesayang itu sama lo. Nggak harus dibarengi sama gombalan sampis nggak bermutu kayak yang dilakuin sama Jerry ke Arjuna. Gue pikir, kenapa harus words of affirmation yang cuma bacot nggak pake bukti? Mending dapet act of service, receiving gifts, quality time sama physical touch sekaligus dalam satu orang, ‘kan?”

Tanpa sadar, Jeano dibuat tertawa akan penuturan yang diberikan oleh Jeffrian yang juga mengucapkannya sembari diselingi tawa kering.

Jeffrian lirik presensi yang sedang terkekeh di sampingnya itu. Lantas, ia tarik pipi kanan sang kekasih dengan gemas. “Tuh, jelek banget susunan kalimat gue, ya? Lo aja sampai ketawa gini mana gue sendiri juga ngerasa geli kuadrat sama omongan gue tadi. Tapi, lo paham sama intinya, ‘kan?”

Kepala bulat itu mengangguk berulang kali bak mainan yang biasanya iseng ditaruh di atas dashboard mobil. Jeffrian gemas! Pemuda itu dua kali lebih kekanakkan dengan senyum lebarnya kini. “Hehe, paham. Intinya, Kak Jepi nggak suka ngomongin perasaan Kak Jepi tentang aku ke aku, tapi Kak Jepi lebih suka bilangnya dengan ngasih aku apapun yang aku pengenin. Bener, nggak?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YOGURT SHAKE   +jaenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang