59

1.5K 144 13
                                    

“Kak Jepi.”

Si pemilik nama panggilan tak menoleh. Sesuai menyuapkan satu paha ayam ke dalam mulutnya, barulah ia bergumam, “Apa?”

“Aku mau kencan.”

Jeffrian tidak bisa tidak mendelik selepas mendengar Jeano yang begitu santai mengutarakan sesuatu yang pastinya membuat darah Jeffrian serasa berdesir disertai detak kencang dari laju pacu detak jantung yang meningkat drastis. “HAH?!” jeritnya tak bisa menahan diri untuk tak mengeluarkan reaksi terkejutnya.

Yang lebih muda kontan mendengkus dengan pias malas melihat reaksi tak santai Jeffrian tersebut. “Kak Jepi nggak mau. Ya udah, nggak apa—”

“Kata siapa gue nggak mau? Sini lo sebutin mau ke mana aja! Seharian penuh gue jabanin; nonstop kalau lo emang serius pengen ngedate sama gue!” seru Jeffrian berapi-api. Senyum lebar telah terukir apik diwajah rupawannya mendapat tawaran menggiurkan yang Jeano keluarkan tadi.

Dikiranya selama ini hanya ia yang mendambakan keduanya menghabiskan waktu bersama dengan embel-embel ‘kencan’. Mengetahui jika Jeano ternyata punya pikiran yang sama dengannya, bagaimana mungkin Jeffrian tidak langsung merasa berbunga-bunga?

Sementara itu, Jeano justru memandang aneh kepada tingkah kekasihnya sendiri. Perlukah Jeffrian sampai harus menjadi kelewat antusias seperti ini? Padahal menurut Jeano, ajakannya tadi tidaklah sebegitu pentingnya hingga bisa membuat Jeffrian terlampau senang begini.

Ternyata mudah sekali membuat lelaki itu melupakan masalah yang mereka alami sebelumnya.

Jeffrian tampak memasang raut berpikirnya. Membuat Jeano lantas mengernyit heran. Segera sebelum akhirnya Jeffrian menjentikkan jarinya. “Lo mau ke mana, hm? Hawaii? Maldives? Paris—”

“Perpustakaan kota,” jawab Jeano sekenanya.

Kontan Jeffrian melonggarkan segala tindak-tanduk ekspresifnya tadi. Tak habis pikir jika tawaran mahalnya ditolak mentah-mentah oleh anak itu hanya demi mengunjungi museum buku-buku tua yang seharusnya pasti akan sangat membosankan hanya dengan mendengarnya semata.

Jeano terkekeh saja melihat bahu Jeffrian yang turun akibat tak lagi merasa bersemangat seusai mendengar keputusan sepihaknya itu. Jemarinya naik untuk mencubit gemas kedua pipi Jeffrian yang agaknya berhasil dibuat merajuk. “Aku ngajak kencan, Kak. Bukan ngajak bulan madu.”

Lelaki itu lantas memasang wajah memelas. “Kita bisa dua-duanya kalau lo mau.”

Ngawur,” deru Jeano menggunakan bibir cemberutnya. “Gimana? Kak Jeff mau, nggak?” tawarnya sekali lagi. Sekedar memastikan apakah keputusannya tersebut diterima dengan baik oleh Jeffrian atau tidaknya.

Jeffrian berdecak. “Lo nggak ada saran tempat lain yang lebih romantis apa?”

“Loh? Perpustakaan juga romantis, kok.”

“Ano, sebagai pacar yang baik buat lo, kalau emang lo kesulitan belajar bisa gue carikan tutor khusus buat kita entar. Lagipun, lo tadi ngajak gue kencan, ‘kan? Seenggaknya lo minta pergi pantai atau ke mana gitu biar sekalian ngeliat sunset habis itu kita ketawa bareng terus ciuman sampai dipisahin warga.”

Mendengar itu, tak ayal Jeano segera merotasikan bola matanya. Sejak mereka melakukan itu terakhir kali, Jeffrian seolah kehilangan urat malu sehingga apapun yang mereka lakukan selalu berakhir dengan pembahasan demikian. Terutama fakta jika Jeffrian juga tiada habisnya membahas hal semacam itu, bahkan di tempat umum sekalipun.

“Kalau Kak Jepi lupa, umurku masih lima belas tahun.”

Sungguh, Jeano bukannya bersikap polos sebagaimana umurnya, hanya saja candaan yang dilontarkan Jeffrian masih terlalu frontal ditelinganya. Bahkan sekedar mengatakan saja Jeano merasa geli bukan main, padahal dia yakin secara pasti bahwa Jeffrian agaknya tak akan melakukannya lagi semenjak Jeano memaksanya agar berjanji untuk tak berbuat itu tanpa seizinnya sama sekali.

Dan, ya. Tentu saja Jeffrian tahu bahwa ada pantangan umur tersendiri terlepas dari pikiran Jeano yang masih terbilang bersih. Perlu digarisbawahi bahwa Jeffrian tak lebih dari sekedar bercanda. Ia senang melakukannya karena melihat respon malu-malu Jeano yang kentara kesal sekali tiap Jeffrian mengajaknya begitu.

Jeffrian mengangguk paham. “Nggak serius, kok. Tapi, kalau emang lo mau diseriusin, besok gue bawa orang tua gue ke rumah lo.”

“AH, UDAH!” pekik Jeano bersungut-sungut. Wajahnya menekuk kesal, tampak menggemaskan dimata si budak cinta, Jeffrian Atmaja. Tangannya pun ikut tak tinggal diam, apalagi mendengar tawa meledek Jeffrian.

Pemuda itu seketika meninju pelan bahu kekasihnya hingga empunya kontan memekik ngilu. “Aku lagi nggak mood diajak bercanda!” serunya setengah merengek.

Jeffrian terkekeh geli. Kemudian, mengusap lembut surai Jeano yang tengah berbaring dalam posisi kepala berbantalkan kedua pahanya. “Kalau diajak makan mau, nggak?”

Pupil matanya seketika membesar. “Mau!” Yang mana seruan antusias tersebut berhasil membuat Jeffrian langsung memberikan sentilan kecil didahi yang lebih muda. “Pipi lo udah melar gini masih mau makan juga?” cibirnya seraya menarik salah satu pipi Jeano.

Pemuda itu mengangguk. Tak terlalu mempermasalah bagaimana Jeffrian menyebutnya tadi. “Hmm. Aku mau yang pedes-pedes. Tapi, jangan ada kejunya. Okay?”

Jeffrian tak langsung menjawab. Melainkan sedikit melirik ke arah jam dinding. Sudah siang, mungkin tak apa bagi Jeano untuk memakan sesuatu bercita rasa pedas sebagaimana kemauannya.

“Lo mau apa?” tawarnya seraya mengambil ponselnya yang tadi ia letakkan di atas meja. “Gacoan mau?”

“Mau, mau! Tambah bakso mercon juga! Terus rujak cingur. Minta levelnya yang pedes banget pokoknya!”

Jeffrian mendengkus sembari menekan rentetan makanan sesuai dengan yang disebutkan oleh Jeano. “Apalagi?”

“Itu aja. Nanti aku sakit perut,” jawabnya usai dengan iseng menepuk-nepuk perut bulatnya. “Kak Jepi nggak ikut pesan juga, kah?” Ia bertanya bingung tatkala Jeffrian hanya membisu selepas menaruh ponselnya asal ke sisi kosong sofa.

“Samain kayak punya lo aja.”

Bibir Jeano spontan membulat lucu. Membuat Jeffrian menyunggingkan senyum miring sampai perlahan Jeano ikut memberikan cengirannya. “Lo mandi aja dulu. Biar gue yang nunggu makanannya dianterin.”

Hehe, siap!” ujarnya segera beranjak bangkit dari aksi tidurannya tadi. “Nanti kalau udah sampai, Kak Jepi jangan lupa ngasih tahu, ya!”

“Iya, Ano.”

Langsung saja Jeano berlarian menuju anak tangga. Berniat ingin kembali ke kamar mereka tentunya. Bahkan berulang kali pemuda itu nyaris terjatuh sampai-sampai membuat Jeffrian berkeinginan untuk menyusulnya sekedar menggendong Jeano lantaran kelewat khawatir menyikapi tingkah laku tak biasa Jeano yang seperti bayi yang baru bisa berjalan.

“Kak Jepi janji kasih tahu kalau makanannya udah dateng, ya!” Bahkan masih sempat-sempatnya menuntut haknya untuk tahu perihal kedatangan makanan keinginannya.

Oleh sebab itu, Jeffrian hanya kuasa menggeleng-gelengkan kepala sembari mengurut keningnya menggunakan kedua jari. Sesudah mendengar suara bantingan pintu, barulah lelaki itu bisa menghela napas lega.

Beberapa menit berselang, Jeffrian justru dikejutkan oleh suara yang terdengar dibalik intercom.

“Lah, cepet banget?” gumamnya mengira jikalau itu adalah ojek yang mungkin sedang menghantarkan makanan sehingga ia tanpa pikir panjang lantas membuka pintu tersebut dengan menyembulkan kepalanya. “Berap—”

“Lho, jadi kamu masih tinggal di sini?” Sesosok pria menyambutnya dengan senyum hangat. Sementara Jeffrian justru tampak begitu terkejut akan kedatangan tamu tak diundang tersebut. “Pantesan Chisa nggak ngasih izin saya untuk ke mari.”

“... Papi?”

[.]

aku lagi berusaha tamatin ini, huhu

YOGURT SHAKE   +jaenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang