52

1.4K 161 13
                                    

Jeffrian melirik arloji yang melingkari lengan kirinya. Masih pukul empat pagi dan Jeano tampak sudah rapi dengan baju lusuhnya yang entah didapat darimana.

“Lo ngapain?” ujarnya serak lantaran merasa nyawanya masih belum cukup terkumpul hanya karena merasa jika Jeano dengan pelan melepaskan tangannya dari lingkar perut rata miliknya.

Pemuda itu tersenyum kecil. “Kak Jeff tidur aja. Pas jam delapan nanti aku balik lagi, kok.” Didorongnya secara perlahan bahu Jeffrian agar kembali tidur di atas ranjang. Tetapi, alih-alih berhasil, Jeano justru terhuyung ke depan akibat tarikan tangan Jeffrian yang tengah menatapnya penuh selidik dalam jarak yang hanya berkisar sejengkal jauhnya.

“Mau ke mana?” tanya Jeffrian lagi. Kali ini lengan Jeano tak dibiarkannya terlepas. Takut jika Jeano akan lari meskipun peluangnya terbilang lumayan kecil.

Sementara sebelah kanan tangannya tengah dipenjarakan oleh Jeffrian, Jeano pilih untuk menggunakan tangan kirinya untuk diusap ke arah surai berantakan Jeffrian yang masih saja menatapnya dalam. Hampir tak berkedip sama sekali. “Mau ke kebun. Bantu Ibu sama Ayah,” jawab Jeano, kemudian.

Pegangannya berangsur mengendur hingga berakhir terlepas dengan sendirinya. “Gue ikut,” putusnya sepihak dan dengan terbirit-birit berjalan cepat menuju tasnya yang masih berada di luar.

Jeano awalnya tersentak dan ikut mengejar langkah Jeffrian yang tanpa adab melangkahi teman-temannya yang masih tergolek lemas di pembaringan masing-masing. Untung saja hal itu tak membuat mereka terbangun.

“Nggak perlu, Kak Jeff. Aku cuma sebentar aja, kok.”

Bahu yang lebih tua bergidik acuh. “Gue ikut,” tekannya tak terbantahkan. Lelaki itu bahkan sempat-sempatnya melotot sebelum Jeano berhasil menyuarakan ketidaksetujuannya lagi di tengah-tengah acara memakai pakaian asalnya tersebut.

Alhasil, Jeffrian kini memakai kaos oblong putih polos dipadukan celana training berwarna hijau tua. Tanpa mandi atau sekedar mencuci muka sama sekali. Jorok.

Dengan erat, keduanya bergandengan tangan menuju lokasi yang tadi disebutkan oleh Jeano. Birai Jeano menyunggingkan senyum tipis sambil sesekali melantunkan alunan lagu acak yang Jeffrian sendiri tak tahu siapa penyanyi aslinya.

Sekian lama berjalan, kala itu Jeffrian seketika disuguhkan oleh pemandangan hutan belantara yang sunyi serta masih gelap tanpa adanya penerangan sama sekali. Netranya memicing, terbilang penasaran akan banyaknya suara manusia yang entah membicarakan apa selain bisingnya suara katak serta sahut-sahutan ayam yang sibuk berkokok.

Sudah banyak orang rupanya.

Jeffrian tersentak saat Jeano melepaskan pegangan tangan mereka dan langsung berlari menyusul sosok wanita tua yang tadinya tengah mengobrol panjang dengan rekannya. Tidak tahu pasti tentang apa yang sedang Jeano lakukan, tapi Jeffrian bisa menangkap sorot langsung kesedihan terpancar di wajah pemuda itu.

Maka tanpa pertimbangan yang matang, Jeffrian susul keberadaan Jeano yang sudah tertunduk lemas. “Ngobrolin apa, sih?” Jeffrian tatap kedua ibu-ibu di depannya.

“Begini, Nak. Dek Jeano tanya soal Ibu sama Ayahnya ke mana, kami tadi lihatnya mereka pergi ke tempat Juragan. Kami kurang tahu perihal alasan mereka ke sana,” terang salah satu dari keduanya.

Alis tebal Jeffrian lantas berkerut. “Si Juragan itu jagoan kampung ini?” Selalu seperti itu pandangan Jeffrian. Dari film tidak jelas yang selalu Jerry tonton ketika bersamanya, sosok Juragan yang dimaksud adalah pria tua bau tanah yang senang menindas rakyat yang punya kasta di bawahnya. Jeffrian agak kurang suka mendengar sebutan itu. Sekaya apa dia? Apakah cukup dapat menandingi seluruh aset kekayaan Atmaja?

YOGURT SHAKE   +jaenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang