18

2.5K 219 2
                                    

Harsa meregangkan tangannya yang terasa kaku usai digunakannya sebagai senjata atas perkelahian beberapa jam sebelumnya. Langkah gontai pemuda itu membawanya naik ke masing-masing anak tangga. Kamar adalah tujuan utamanya saat ini.

"Lho, Sa. Kok, baru pulang?"

Si pemilik nama panggilan seketika tertegun, lalu berhenti melangkah begitu saja dipertengahan jalan. Kepalanya mendongak tatkala menyadari jika arah suara berasal dari lantai atas.

Di sana, sosok tersebut menyambutnya dengan senyum teduhnya seperti biasa. Tak sengaja netra Harsa melirik benda yang melingkar dilengan kirinya. Tanpa bisa dicegah, tubuhnya langsung dibuat gemetar hebat.

Ia bertanya dengan suara paraunya, "Kapan lo-"

"Tadi pagi, hehe." Ia menyengir polos. "Maaf, deh. Gue sengaja ngelarang mereka ngasih tau lo soal kedatangan gue. Pengen lihat tampang kaget lo soalnya."

Mendengar itu, sedikit demi sedikit rasa takut Harsa perlahan terkikis. Agak merasa heran dengan pemikiran sosok yang hanya berdiam diri di atas tangga tersebut.

Pemuda itu terdengar mendengkus pelan. "Lo kapan normalnya, sih?" tanyanya tak dapat menahan senyum. Seakan sosok itu punya daya tarik sendiri hingga bisa menularkan sikap periangnya kepada seorang pemurung akut seperti Harsa.

"Kapan-kapan."

[.]

"Yang tadi tuh apaan?" Yudha bertanya tak sabaran. Eksistensi Jeano sudah menghilang semenjak Jeffrian memaksa agar si pemuda masuk ke dalam kamar usai kejadian memalukan itu. Tinggal dirinya sekarang yang menjadi objek untuk dimintai keterangan oleh Theo dan Yudha selalu saksi mata dari tragedi yang menimpanya sebelumnya.

"Apanya?" Jeffrian tersenyum miring kepada Theo yang tampak seperti orang yang kebakaran jenggot. Bahwasanya ia tahu, jika dibaliknya membisunya Theo, ada luapan amarah pada visus pemuda Mahaprana tersebut. "Kurang jelas, ya? Oh, atau mau tayangan ulang?"

Suara menyebalkan itu tentunya mengusik kedamaian Theo. Dia tak merasa cemburu seperti yang dituduhkan oleh Jeffrian. Theo hanya merasa bersalah atas semua perlakukan Jeffrian terhadap Jeano yang sesungguhnya hanyalah seorang korban.

"Jeff, tolong jangan keterlaluan. Gue-"

"Peduli lo apa, huh?" cibir Jeffrian, muak. "Selama dia punya gue, mau gue apain juga itu bukan urusan lo. Kenapa? Lo iri, ya?"

Theo berdecih. "Justru lo yang nggak punya hak buat ngeklaim dia." Ia mengulum bibir. Theo pikir, tak apa untuk bermain dengan emosi Jeffrian saat ini. Toh, dia sendiri yang sedari tadi kerap memancing keributan dengannya. "Perlu lo tau, Jeff. Sebelum atau sesudah lo, Jeano tetap jadi milik Harsa. Lo nggak akan pernah bisa mengubah fakta itu."

Visus Jeffrian terbelalak. Bolehkah Theo bergembira sekarang? Jeffrian termakan umpannya. Buktinya pemuda Atmaja tersebut langsung membenturkan kepalan tangannya ke atas meja usai mendengar omong kosong itu darinya.

"Keluar," putus Jeffrian dengan suara rendah nan beratnya. Akan tetapi, seusai merasa tak ada pergerakan dari kedua orang yang duduk di depannya itu, Jeffrian kemudian meninggikan suaranya. "KELUAR!"

Yudha menatap gamang akan pertengkaran kedua bersepupu tersebut. Meskipun tidak sama sekali mengeluarkan patah kata, ia tetap terseret dalam arus ketegangan antar mereka. Dengan segera, ia menarik lengan Theo untuk ia bawa pergi. Sungguh, air muka Jeffrian kentara tak bersahabat. Yudha harus memisahkan mereka berdua sebelum pertengkaran yang sebenarnya akan terjadi.

"Lo belum ngajak perang juga Harsa udah menang duluan, Jeff." Lagi-lagi, sebelum benar-benar beranjak, Theo melempar semua fakta bohong yang dikarangnya demi membalas dendam kepada Jeffrian. "Yang lo pungut sekarang bukan barang baru, Jeff. Tapi, bekas orang. Kasian banget lo."

[.]

YOGURT SHAKE   +jaenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang