7

178 20 10
                                    

Ada typo tandain, yak
biar langsung dibenerin
kadang udah cek berkali-kali, tetep aja ada typo





Berkali-kali Geisha menelfon Brian menggunakan ponsel Yui, tapi tak kunjung diangkat. Tangis Yui semakin keras di kelas yang hanya ada mereka bertiga. Sudah hampir 5 menit Yui menangis dan tak mau berhenti. Satu kali lagi Geisha mencoba menelfon Brian, hasilnya nihil.

“Coba telfon yang lain!” usul Dea.

Geisha mencoba menelfon Gava, sama saja tak diangkat. Begitupun dengan Farhan. Harapan terakhir adalah Januar. Sayangnya tak ada jawaban. “Lagi pada ngapain, sih?! Masa kagak ada yang bawa hp?”

“Gege ... Dea ... Gimana, dong? Huaaaaa....”

Dea garuk kepala. “Lo lupa bawa kali? Bisa aja ketinggalan di rumah, kan?”

“Enggak, Dea. Yui inget banget udah bawa tumblr. Tapi kenapa nggak ada? Dea ... Gege ... Huaaaaa ....”

Tragedi hilangnya tumbler terjadi lagi. Yui tak mau ke kantin sebelum menemukan benda kesayangannya itu. Mau tak mau Dea dan Geisha menemani Yui di kelas. Untungnya mereka tak lapar, biasanya makan saat istirahat kedua.

“Samperin aja sana ke kantin, Ge!”

“Ogah! Gue males banget ketemu senior sok berkuasa. Yang ada nanti gue digosipin kegatelan gara-gara nyamperin Kak Brian dan yang lain. Lo tahu, kan, mulut senior cewek apalagi geng cabe-cabean itu? Gue nggak takut, cuma males aja berurusan sama mereka.”

Tak ada cara lain, mereka hanya bisa menunggu bel masuk berbunyi. Karena Yui akan berhenti menangis jika pelajar dimulai kembali.

Sementara di koridor, para murid cewek berbondong-bondong menghampiri cowok yang sedang berjualan aneka roti. Tak lain tak bukan adalah Brian. Ketiga temannya mengikuti di samping.

“Yang borong dapet nomor Janu sama Brian!” Ucapan Gava membuat para cewek semakin heboh.

Salah satu bertanya. “Kalau nomor Kak Farhan boleh, nggak?”

“Farhan udah sold out.”

Murid tadi mendesah kecewa.

Brian mengumpat dalam hati karena ucapan Gava, sedangkan Januar hanya memasang wajah datar. Tak sampai lima menit dagangan ludes. Tentu karena Gava benar-benar memberikan nomor yang pembeli minta.

“Tolol!”

Gava tertawa puas mendengar umpatan Brian. “Hitung-hitung nambah pahala karena udah bantuin ibu kantin.” Yang dijual memang bukan milik mereka. “Tapi dipikir-pikir, kalau kita jualah kayaknya laku keras. Gimana besok lo buka usaha jualan gorengan aja?”

“Iya, tapi gue jual ginjal lo dulu buat modal.”

Mereka kembali, memberikan hasil jualan pada ibu kantin. Tak hentinya ibu kantin berterima kasih sambil menangis terharu karena sudah membantu. Gava yang melihat ikut terharu. Sebenarnya itu idenya, mereka sedang main truth or dare. Daripada memberi tantangan tak berguna pada Brian, Gava manfaatkan untuk membantu para penjual di kantin. Suka iba jika melihat dagangan belum habis padahal sudah bel pulang.

Permainan kembali berlanjut. Tanpa rasa berdosa Gava memutar tumblr yang sedari tadi Yui cari sampai tak berhenti menangis. Tumblr kuning itu berhenti berputar, mengarah pada Januar.

“Mampus, lo langsung dapet. Truth or dare?” tanya Gava bersemangat. Mengerjai Januar adalah salah satu hal yang sangat dia sukai. Kapan lagi coba, ngerjain cowok paling dingin di SMA Alaska?

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang