8

226 19 0
                                    

draf mulai habis, mau lanjut nggak mood bgt.


"Kak Biyan, ih! Pegangin yang bener!"

Brian yang masih duduk di motor berdecak sebal. Niatnya langsung ke kelas pupus saat Yui memintanya memegang cermin untuk berkaca. "Tinggal ngaca di spion napa?"

"Muka Yui jelek kalau ngaca di spion." Yui membimbing tangan Brian untuk memperbaiki posisi cermin lipat miliknya yang miring.

"Lo emang jelek."

Menguncir ulang rambutnya, lalu merapikan poni. Tadi buru-buru saat menguncir rambut karena Brian menyuruh cepat, katanya ada tugas yang lupa belum dikerjakan. Salah sendiri main game sampai larut malam.

Setelah dirasa sudah rapi, Yui mengambil cermin dari Brian dan menyimpan di tas. Para murid mulai berdatangan, segera Yui menuju kelas. Dahinya mengernyit saat melihat Dea dan Geisha tak jauh di depannya. Mendengar namanya dipanggil, Yui menghampiri. Kebingungan saat Geisha ngamuk tidak jelas.

"Maju sini lo, anjir! Gelut kita!"

Dea susah payah menahan Geisha yang ingin mengejar salah satu cowok seangkatannya. "Yui, bantu gue pegangin Gege!"

Meski tidak berpengaruh banyak, Yui menahan tangan Geisha. "Kenapa, sih, De?"

"Gue nggak tau, tiba-tiba ngamuk gara-gara ada yang nawarin es kiko. Aneh banget emang anak satu ini."

Baik Yui maupun Dea, sering sekali tidak memahami apa yang terjadi pada Geisha. Entah mereka yang kurang peka, atau Geisha saja yang aneh.

"Gue sedih banget, sialan!" Geisha tiba-tiba menangis. "Ayang gue jadi kiko."

"Hah? Maksudnya?" Yui bertanya-tanya. "Pacar Gege jadi es? Masuk ke kulkas? Membeku?"

"Nggak gitu." Geisha menghentakkan kaki.

Dea yang mulai mengerti membuka suara. "Udah, Yui. Jangan diladeni. Gege lagi kumat, makanya ngomong nggak jelas. Mending ke kelas, tinggalin aja Gege kalau nggak mau."

Dea melepas pegangan pada Geisha, beralih menarik Yui menuju kelas. Geisha mencak-mencak, tapi tetap mengikuti mereka.

"Kok ditinggal, sih?! Jahat! Kalian jahat!"

Sejujurnya Dea sedikit malu melihat kelakuan Geisha, apalagi banyak yang memperhatikan. "Ge, diem! Lo boleh ngamuk kalau udah di kelas. Nggak malu dilihat orang?" ujar Dea saar Geisha sudah di sampingnya.

"Bodo amat, gue nggak peduli."

Yui menepuk pundak Geisha, mencoba menenangkan meski masih tidak paham dengan apa yang terjadi sebenarnya. "Udah, Gege. Jangan nangis terus!"

Perlahan tangis Geisha mereda, teringat sesuatu. "Oh, iya. Lo udah ngomong sama Kak Brian belum? Gue udah lumutan nunggu, nih. Gue butuh kepastian."

Kalau soal Brian aja sangat semangat.

"Harusnya lo udah tahu jawabannya sebelum nanya," celetuk Dea. "Nggak bakalan cowok kayak Kak Brian mau sama cewek prik kayak lo. Lagian pasti Kak Brian masih gamon sama mantannya. Siapa namanya? Gue lupa."

"Kak Iris." Yui menjawab.

"Nah! Apalagi kata kak Gava, Kak Iris itu cantik banget. Dia juga pinter, ramah, murah senyum. Ibaratnya Kak Iris di sini." Tangan kanan Dea berada di atas kepala. "Terus lo di sini, Ge." Lalu tangan kirinya berada di lutut. "Sini, nih! Sini!" Dea menepuk lutut berkali-kali untuk memperjelas. "Kalaupun lo bisa jadian sama Kak Brian, yang ada Kak Brian bisa stres gara-gara ngadepin kelakuan lo."

"Dea, ih. Jangan gitu. Nanti Gege nggak doyan makan seminggu gimana?"

"Hah? Gege nggak doyan makan? Air laut gue kuras!" Dea paham betul dengan temannya sejak SMP itu, mana mungkin Geisha mau galau berhari-hari dan tidak makan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang