PANDANGAN Guinevere jatuh pada genangan air hujan yang tercetak lebar. Lalu suara rintikan hujan yang kian lebat terdengar berisik, walaupun begitu ia merasa seperti euforia sebab bau petrichor menyeruak masuk melalui indera penciumannya. Gadis berambut panjang itu tersenyum manis alih-alih manyun, mengabaikan bahwa ia tak membawa payung maupun jas hujan untuk melindungi tubuhnya dari hujan agar tidak basah kuyup. Gadis pemilik nama Guinevere begitu menyukai hujan. Dia suka sensasi air yang jatuh, dan suara berisik dari gemericik hujan terdengar memberi kesan yang tenang. Lalu hanya sepuluh menit ia berdiri disana, suara ponsel membuyarkan lamunannya. Menariknya dari khayalan yang dia buat sesaat.
“Halo.” Sapanya dengan suara lembut.
“Dek, kamu dimana?” Guinevere tersenyum tenang setelah mendengar suara penuh kekhawatiran milik sang kakak. “Aku lagi neduh, di depan kafe.” Jawaban Guinevere membuat kakaknya di seberang sana mencelos. Berempati karena berteduh sendirian di luar, menanti hujan reda. Guinevere yang paham mencoba memberi pengertian bahwa dia baik-baik saja. Letak kafe yang dia kunjungi pun tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu dua puluh menit kalau berjalan kaki.
“Kakak jemput, ya. Tapi nunggu selesai, sumpah loh, ini kamu sendirian aja? Apa kakak kesana sekarang, biar kamu gak jenuh disitu?”
“Jangan bolos les ya, kak. Guin masuk lagi ke kafe, sambil nunggu hujan reda juga. Tadi memang salah Guin, udah tau dari berita tadi pagi kalau cuaca hari ini kemungkinan hujan deras malah keluar gak bawa payung. Kakak jangan khawatir disana, Guin bukan anak kecil lagi. Lanjut aja, ya. Oh ya, nanti pulang jam berapa?” Mau tak mau Guinevere memilih masuk ke dalam kafe dan kembali memesan red velvet kesukaannya, lalu mencari tempat duduk yang dekat dengan pintu masuk. Guinevere memilih membaca buku novel yang sengaja dibawanya kemana-mana.
“Kayaknya dua jam lagi. Kalau udah reda nanti, kamu langsung pulang, ya. Gak usah belok-belok, gak usah mampir kemana-mana. Udah hampir gelap juga sekarang. Kalau mau, kakak hubungin Sion buat nemenin kamu.” Lancelot akan sangat cerewet kalau menyangkut adik bungsu—yang notabenenya adalah adik perempuan satu-satunya. Walaupun begitu Guinevere tidak pernah merasa risih atas perlakuan posesif kakak kandungnya. Ia bahagia.
“Gak usah, ya, kakak. Guin sendirian aja disini, lebih tenang. Awas aja kalau minta Sion datang. Sekarang, Guin tutup teleponnya dan kak Lance lanjut lesnya. Apaan, belajar kok malah main hp?!”
“Ya tadi hujan, makanya kakak telepon kamu biar di rumah aja. Taunya malah kejebak di luar. Ya udah, deh hati-hati aja kamu. Kakak tutup teleponnya.” Walau begitu Lancelot masih tidak rela mengakhiri panggilan, suara napasnya masih terdengar jelas ditelinga Guinevere.
“Udah tutup aja, sih, napa masih nyala?” Protes Guinevere.
“Iya ini dimatikan. Dah, ya, bye.”
“Bye bye kakakku sayang.”
Klik.
Guinevere menghela napasnya setelah telepon berakhir, lalu seorang waitress datang mengantarkan pesanan. Ia mengucapkan terimakasih dengan senyum yang tidak hilang.
Guinevere membuka halaman novel yang terakhir dibacanya. Novel terjemahan berjudul God-Shaped Hole Kekasih Idaman karya Tiffanie DeBartolo, sedikit meluapkan emosinya. Kisah dua anak manusia sama-sama mencari cinta sejati yang tidak mudah di Los Angeles, lalu tokoh utamanya yang menolak mempercayai ramalannya ketika peramal tiba-tiba menghampirinya. Saat itu tokoh perempuan diceritakan masih berusia dua belas tahun. Guinevere membuka halaman 411, bab 53. Ia tak sengaja membaca salah satu paragraf yang terletak dihalaman 410, begini isinya; Lautan itu bagai pencuri. Pembunuh. Perampas jiwa. Keningnya lalu berkerut samar, mengumpat lautan sungguh tindakan konyol. Birunya lautan itu menurutnya indah, gulungan ombak menambah keelokannya. Tapi Guinevere tersadar akan sesuatu, kalau hal yang indah juga bisa begitu menyakitkan. Tanpa sadar ia jadi teringat Gusion, pemuda itu sangat menyukai laut. Menyukai warna biru. Seandainya sesuatu itu berkaitan dengannya dan laut, apa yang akan dilakukan Gusion untuk menyelamatkannya? Guinevere tersenyum simpul, jemarinya mencengkeram lembar novel sampai kusut. Harusnya ia baca saja, tanpa memikirkan pengandaian yang jelas-jelas membuatnya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Be There [Mobile Legend : Fan Fiksi]
FanfictionGusion benar-benar kecewa pada kakak satu-satunya karena telah menghancurkan kepercayaan dirinya. Bagaimana kalau seorang kakak yang selalu memanjakannya, dan selalu berada dipihaknya saat Gusion dalam masalah. Yang berjanji akan selalu mendukung pu...